Pus terasa sangat lelah. Anaknya yang baru lima tahun berkali-kali minta naik ke punggungnya. Karena sayang, Pus menggendong buah hatinya berkeliling taman. Beberapa kali putaran, si anak telah menggelosor tidur. Segera Pus memberikan kepada istri, untuk kemudian dibaringkan di kamar mungil anaknya. Mereka berdua tersenyum melihat perut anaknya yang naik turun seiring nafas yang halus.
Di saat Pus masih menyungging senyum, si istri tiba-tiba menciptakan sebuah moment yang sama sekali tidak romantis.
- Pap, sudahkah Papap punya uang untuk membayar sewa rumah yang telah menunggak dua bulan ini? Oya Pap, susu si Miow juga tinggal satu sendok.
Mendengar ini, Pus mendesah. Kumisnya tiba-tiba tanggal satu.
- Hhh, belum Momy. Sabarlah. Mengenai susu si Miow, beri saja sementara air gula.
- Oh Papap, tidak mungkin. Aku tidak ingin anak kita kurus kurang gizi. Kurus seperti penulis cerita ini.
- Jangan menghina Momy. Walau kurus, tapi penulis cerita ini pemuda yang ganteng.
- Ah Papap, Momy harap nanti sore Papap bisa membelikan susu untuk anak kita.
Pus tak pernah memahami kata harap yang dilontarkan istri sebagai sebenar-benar harapan. Harapan yang bisa tercapai dan boleh tidak. Pus selalu memahami, harapan istri adalah sebuah kewajiban dan keharusan. Karena kalau tidak, Pus memang tetap boleh tidur di rumah, tapi hanya cukup boleh di beranda.
Pus melangkah keluar hendak pergi ke tepi telaga. Di sana biasanya gundah bisa sedikit terobati. Adalah seretnya rejeki yang diterima akhir-akhir ini, membuat denyut kebutuhan rumah tangga agak tersedak.
Sampai di tepi, Pus melihat sahabat karibnya, Kiko kelinci si telinga panjang.
- Hai boy! Sapa Kiko. Ia termasuk teman yang ceria, tapi ia juga termasuk teman yang tak bisa membaca ekspresi wajah. Ia selalu mendapatkan nilai telur untuk pelajaran ini waktu sekolah dulu. Telur alias nol. – Ente sepertinya datang membawa rejeki buatku. Aku kira tenagamu lumayan dan kau punya kepandaian memijit. Maukah kau memijitku Pus? Badan ini terasa pegal-pegal setelah kerja seharian.
Untuk mengetahui orang, kita tak perlu memaksa kepada orang lain untuk mengetahui kita.
Untuk meringankan beban orang lain, kita tak perlu mengabarkan kesulitan kita kepada orang tersebut.
Untuk menolong, kita tak perlu menunggu waktu yang luang.
Untuk semuanya, kita tak perlu tahu siapa mereka, tapi jika bisa melakukan atau tidak, maka kita akan tahu, siapa diri kita sebenarnya.
Dan apabila kau menebarkan kebaikan sekalipun seringan angin yang berhembus, maka malaikat akan mencatat tetap sebagai kebaikan yang telah dijanjikan pembalasannya, nanti atau kelak.