Thursday, February 19, 2009
posted by catur catriks at 10:45 AM | Permalink
Pada Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
Pada Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
(ditulis oleh istri)
Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and wife.
Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband and wife; find suitable partner for
Married (adjective): having a husband or wife
(Oxford Pocket Dictionary)
Di umur 23 tahun, kata ”pernikahan” adalah kata yang terasa tak pas untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda. Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena saat itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak efisien bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.
Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak hal yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah mencantumkan kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi yang ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.
Apapun itu—it just didn’t fit.
***
Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual
Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan sebuah konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena keterbatasan pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya inginkan dalam suatu pernikahan.
Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh tidak saya inginkan dalam suatu pernikahan. Sambil mengamati sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan, sayapun mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa di antaranya: Saya tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya ego dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan adu argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi. Saya tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya tidak tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan pernikahan, yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian jati diri.
Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan gabungan dari daftar ”cacat” atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya amati, sekaligus daftar ”dosa” mantan saya. Dimana dalam akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan menyerahkan daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa berjalan bersama.
Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak pertanyaan ”Kenapa?”, yang diteruskan dengan ”Kenapa sekarang?”.
Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa seperti seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak tahu, kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar sama kerasnya dengan murid lainnya. ”Oke, kamu mungkin sekarang sudah pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah menjadi haknya,” tegur waktu.
Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan ”Daftar Harapan untuk Calon Berikutnya,” sebelum diserahkan pada mantan saya. Dan untuk saya sendiri ”Daftar Harapan atas Dirimu Sendiri.”
Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang sudah berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan tahapan pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya, ataupun mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu konsep ”belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal” di kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep kenangan, masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
***
Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja. Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Namun saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk pensiun dini, demi mengurus keluarga.
Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya. Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga. Setiap hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud, tidak tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi dan lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau margarin—dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari, beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi susu, air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air putih. Sore hari ada teh manis dan air putih.
Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami semua. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami di atasnya.
Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton televisi. Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-jalan, beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary, atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang dan menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani kami. Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk dirinya sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk bagi kami semua.
Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala saya. Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi martir dalam pernikahan ini?
She seems quite happy.
Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?
Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. ”Tentu saja, saya bahagia. Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena dulu saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak sedang kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya bilang ke diri saya ’Harus bisa, harus bisa’,”
Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan. Is it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan merata di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan, plus itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena ibu saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—S1), is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas menjalaninya? Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang ’I’m happy, Retno.’ Dan di atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu semua?
Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab ”Semuanya setimpal, Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,”
Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan saya.
***
Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan jawaban berlembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya, oleh banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang (bila wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak pula orang yang akan menjawab singkat ”Yang penting, mau nerima gua apa adanya, mengisi kekurangan gua.”
Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering mengistilahkannya dengan ’kualitas administratif’) bukan menjadi prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi pertimbangan penting buat saya.
Selama bertahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, open mind, bisa diajak berkompromi, tulus.
Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik tentang kriteria pasangan. ”Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam hati gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik.”
Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan selalu bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi ’klik’ itu adalah ’klik’ yang sebenarnya? Apa simptomnya?
Pertanyaan ini menghantui kepala saya, sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria—sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan ’klik’ di kepala saya, namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami tua bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam cerpen Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya, dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan kami, hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal. Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk kemudian menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa yang tercecer, ide kriteria ”mau menerima diri kita apa adanya, dan mau mengisi kekurangan kita” pun seketika jadi tampak masuk akal di kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata hanyalah batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke dalam kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya?
Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep diri yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah proposal pernikahan.
***
Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya investasi. Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan, materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba jangka panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka panjang yang stabil.
Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya, termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang sangat melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri. Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu, menyenangkan. Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least, saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu, saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa sebelumnya.
Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu. Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa sangat sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah lari. Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu ”Bagaimana kalau dia abusif?”, ”Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau manik depresi?”, ”Bagaimana kalau dia seorang megalomaniak?”, ”Bagaimana kalau dia seorang MPD?”, ”Bagaimana kalau dia adalah semua kombinasi di atas?”—atau singkatnya, hal-hal mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam beberapa bulan perkenalan.
Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur dari masalah ini. ”Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang dewasa akan bangun dan menghadapinya,” begitu pikir saya dulu.
Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi konseptual saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan cinta.
Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata hati. Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom dalam buku Tuesdays with Morrie ”Kadang-kadang, kita tak boleh percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang kita rasakan.”
Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan skeptis kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup stabil dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang saya temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya, bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting—mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama yang disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani mendustaiNya.
Dan ya, saya percaya pada pria ini.
***
Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya. Seperti rentetan peluru. ”Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan, mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?”, cecar kepala saya tanpa ampun.
Dengan panik, sayapun berteriak ”Stop! Stop! Stop! Saya mohon, berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!”
Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta petunjuk dariNya. ”Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan pertolonganNya,” begitu bisiknya.
Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah menginap sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga. Hanya duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali melintas.
Sebuah keheningan yang mendamaikan.
Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
”Ya, saya ingin melakukannya,” ujar suara itu. Bening dan jelas.
Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang hampir selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak kenal suara ini, pikir saya.
”Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata ’saya’, dan bukannya ’kamu’ seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing saya?,” tanya saya.
Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab ”Karena memang bukan saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang mengatakannya. Itu adalah suaramu.”
Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah jam. Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur ”Alhamdulillah, terima kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin melakukannya. Saya ingin melakukannya.”
***
Proses pun dimulai.
Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua saya, yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini akan ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
Dan betapa pria ini tercengang mendengarnya—terlebih saat kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan salah satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.
”Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan, apalagi kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula,” ujar pria ini.
Butuh diskusi cukup bagi saya untuk meyakinkan pria ini, bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—cicilan rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak, kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
”Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas mereka. Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan berbeda dengan mereka. How’s that?,” jelas saya.
”Dan bagaimana dengan orangtuamu?” tanya pria ini.
Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan lapang dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu ruang kelas bernama Pernikahan.
Bismillahirohmanirrahim.
***
Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb. Yang—di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-nyaman saja menjalankannya.
Tentu saja, saya selalu punya banyak pertanyaan. ”Kenapa?”, ”Kenapa nggak boleh?”, ”Kenapa jangan?”. Dan saat suami saya menjawab dengan ”Nggak papa, nggak boleh aja,” maka saya akan mengejar dengan ”That’s not an answer. Come on, try me.”
Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang mungkin berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun bagi saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-ton kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan ’Kenapa’ dan ’Itu bukan jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,’ selama hampir 7 kali sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan personalnya.
Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap kelewat sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan berdiskusi.
Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah berkomentar ”Gee, Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu untuk berdiskusi.” Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya dengan ”Yeah, right. Like I know how.”
Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya. Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan mendengarkan.
Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu dari mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan. Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It’s a win-win solution.
Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
***
Pelajaran 5: Belajar Bernafas
Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya lagi-lagi akan kelewat banyak merasa.
Ya, ini melelahkan. Sangat.
Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah, misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti bertanya. Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua saya sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu fokus menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya lupa menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—sehingga kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5 jam di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu makan siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois? Apakah itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab karenanya?
Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah saya confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It’s OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu tak lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. “And yes, sweetie, I love you that much,” ujar suami saya.
Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega? Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai berpikir bahwa ’Apakah saya menikah terlalu cepat?’
I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk menjalani ini bersamanya. Pertanyaan ‘what if’ adalah pertanyaan mengawang-awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima saja semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya yang bertanya-tanya akan krisis identitasnya. ”Ada apa dengan kamu, No? Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu itu yang mana?”
Dan saya tidak tahu jawabannya.
Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. ”Ain, I work from home, like I always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and adored me so much. I live in a house that have a beautiful scenery. But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?”
Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. ”What do you really really really want, Jo?”
Sadly, I have no answer.
Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar. Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa, punya jawaban melegakan.
”Retnadi sayang, you’re married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It’s OK, untuk tidak punya jawaban atas segala hal. It’s OK, untuk bilang sama kepala dan dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui, dengan ”Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi saya akan belajar untuk mencarinya.” It’s OK, and we still love you. So take your time, Retnadi. Take your time. Love you,” ucap Citra mengelus hati saya.
***
Pelajaran 6: Dua Aksioma
Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang kebenarannya tak terbantahkan. Salah satu aksioma komunikasi yang terkenal adalah ‘we cannot not communicate’. Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada komponen nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
Dan di umur 24 tahun, saya pun mencoba menyusun dua aksioma saya. Pertama, we can’t pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang. Pun saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan, dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras mungkin, hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it’s OK, because we can’t pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.
Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya jawaban atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika, banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa saya boleh menjawab ’I don’t know how. I just know’, atau ’I don’t know, now. Let’s figure it out later.’
Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke kantor, sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum secangkir kopi susu. This is it. The moment of happiness. I’m just happy. I just know.
Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan. Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please tell me what to do. Please tell me what to do.
Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan sabarnya.
Ah, betapa melegakan.
Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya, saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada Tuhan. Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
Sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini, tentu akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan. And it’s ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John Legend ”We’re just ordinary people, we don’t which way to go. ‘Cause we’re ordinary people, maybe we should take it slow.”
Dan pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang kelas ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini berlangsung selamanya. Dan untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo*. Amin.
***
*Attraversiamo (Italian phrase): Let’s cross over.
PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan tambahan deskripsi kata sifat, mungkin kata ’pernikahan’ bisa menjadi suatu kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata sifat lain, selain: bahagia.
Yes, I’m happily married. I just know.
Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband and wife; find suitable partner for
Married (adjective): having a husband or wife
(Oxford Pocket Dictionary)
Di umur 23 tahun, kata ”pernikahan” adalah kata yang terasa tak pas untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda. Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena saat itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak efisien bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.
Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak hal yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah mencantumkan kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi yang ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.
Apapun itu—it just didn’t fit.
***
Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual
Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan sebuah konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena keterbatasan pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya inginkan dalam suatu pernikahan.
Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh tidak saya inginkan dalam suatu pernikahan. Sambil mengamati sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan, sayapun mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa di antaranya: Saya tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya ego dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan adu argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi. Saya tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya tidak tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan pernikahan, yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian jati diri.
Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan gabungan dari daftar ”cacat” atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya amati, sekaligus daftar ”dosa” mantan saya. Dimana dalam akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan menyerahkan daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa berjalan bersama.
Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak pertanyaan ”Kenapa?”, yang diteruskan dengan ”Kenapa sekarang?”.
Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa seperti seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak tahu, kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar sama kerasnya dengan murid lainnya. ”Oke, kamu mungkin sekarang sudah pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah menjadi haknya,” tegur waktu.
Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan ”Daftar Harapan untuk Calon Berikutnya,” sebelum diserahkan pada mantan saya. Dan untuk saya sendiri ”Daftar Harapan atas Dirimu Sendiri.”
Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang sudah berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan tahapan pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya, ataupun mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu konsep ”belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal” di kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep kenangan, masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
***
Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja. Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Namun saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk pensiun dini, demi mengurus keluarga.
Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya. Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga. Setiap hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud, tidak tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi dan lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau margarin—dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari, beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi susu, air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air putih. Sore hari ada teh manis dan air putih.
Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami semua. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami di atasnya.
Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton televisi. Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-jalan, beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary, atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang dan menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani kami. Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk dirinya sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk bagi kami semua.
Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala saya. Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi martir dalam pernikahan ini?
She seems quite happy.
Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?
Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. ”Tentu saja, saya bahagia. Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena dulu saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak sedang kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya bilang ke diri saya ’Harus bisa, harus bisa’,”
Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan. Is it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan merata di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan, plus itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena ibu saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—S1), is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas menjalaninya? Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang ’I’m happy, Retno.’ Dan di atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu semua?
Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab ”Semuanya setimpal, Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,”
Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan saya.
***
Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan jawaban berlembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya, oleh banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang (bila wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak pula orang yang akan menjawab singkat ”Yang penting, mau nerima gua apa adanya, mengisi kekurangan gua.”
Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering mengistilahkannya dengan ’kualitas administratif’) bukan menjadi prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi pertimbangan penting buat saya.
Selama bertahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, open mind, bisa diajak berkompromi, tulus.
Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik tentang kriteria pasangan. ”Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam hati gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik.”
Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan selalu bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi ’klik’ itu adalah ’klik’ yang sebenarnya? Apa simptomnya?
Pertanyaan ini menghantui kepala saya, sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria—sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan ’klik’ di kepala saya, namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami tua bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam cerpen Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya, dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan kami, hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal. Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk kemudian menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa yang tercecer, ide kriteria ”mau menerima diri kita apa adanya, dan mau mengisi kekurangan kita” pun seketika jadi tampak masuk akal di kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata hanyalah batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke dalam kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya?
Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep diri yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah proposal pernikahan.
***
Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya investasi. Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan, materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba jangka panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka panjang yang stabil.
Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya, termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang sangat melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri. Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu, menyenangkan. Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least, saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu, saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa sebelumnya.
Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu. Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa sangat sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah lari. Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu ”Bagaimana kalau dia abusif?”, ”Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau manik depresi?”, ”Bagaimana kalau dia seorang megalomaniak?”, ”Bagaimana kalau dia seorang MPD?”, ”Bagaimana kalau dia adalah semua kombinasi di atas?”—atau singkatnya, hal-hal mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam beberapa bulan perkenalan.
Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur dari masalah ini. ”Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang dewasa akan bangun dan menghadapinya,” begitu pikir saya dulu.
Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi konseptual saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan cinta.
Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata hati. Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom dalam buku Tuesdays with Morrie ”Kadang-kadang, kita tak boleh percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang kita rasakan.”
Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan skeptis kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup stabil dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang saya temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya, bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting—mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama yang disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani mendustaiNya.
Dan ya, saya percaya pada pria ini.
***
Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya. Seperti rentetan peluru. ”Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan, mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?”, cecar kepala saya tanpa ampun.
Dengan panik, sayapun berteriak ”Stop! Stop! Stop! Saya mohon, berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!”
Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta petunjuk dariNya. ”Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan pertolonganNya,” begitu bisiknya.
Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah menginap sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga. Hanya duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali melintas.
Sebuah keheningan yang mendamaikan.
Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
”Ya, saya ingin melakukannya,” ujar suara itu. Bening dan jelas.
Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang hampir selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak kenal suara ini, pikir saya.
”Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata ’saya’, dan bukannya ’kamu’ seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing saya?,” tanya saya.
Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab ”Karena memang bukan saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang mengatakannya. Itu adalah suaramu.”
Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah jam. Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur ”Alhamdulillah, terima kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin melakukannya. Saya ingin melakukannya.”
***
Proses pun dimulai.
Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua saya, yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini akan ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
Dan betapa pria ini tercengang mendengarnya—terlebih saat kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan salah satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.
”Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan, apalagi kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula,” ujar pria ini.
Butuh diskusi cukup bagi saya untuk meyakinkan pria ini, bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—cicilan rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak, kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
”Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas mereka. Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan berbeda dengan mereka. How’s that?,” jelas saya.
”Dan bagaimana dengan orangtuamu?” tanya pria ini.
Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan lapang dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu ruang kelas bernama Pernikahan.
Bismillahirohmanirrahim.
***
Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb. Yang—di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-nyaman saja menjalankannya.
Tentu saja, saya selalu punya banyak pertanyaan. ”Kenapa?”, ”Kenapa nggak boleh?”, ”Kenapa jangan?”. Dan saat suami saya menjawab dengan ”Nggak papa, nggak boleh aja,” maka saya akan mengejar dengan ”That’s not an answer. Come on, try me.”
Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang mungkin berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun bagi saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-ton kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan ’Kenapa’ dan ’Itu bukan jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,’ selama hampir 7 kali sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan personalnya.
Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap kelewat sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan berdiskusi.
Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah berkomentar ”Gee, Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu untuk berdiskusi.” Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya dengan ”Yeah, right. Like I know how.”
Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya. Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan mendengarkan.
Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu dari mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan. Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It’s a win-win solution.
Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
***
Pelajaran 5: Belajar Bernafas
Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya lagi-lagi akan kelewat banyak merasa.
Ya, ini melelahkan. Sangat.
Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah, misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti bertanya. Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua saya sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu fokus menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya lupa menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—sehingga kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5 jam di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu makan siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois? Apakah itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab karenanya?
Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah saya confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It’s OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu tak lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. “And yes, sweetie, I love you that much,” ujar suami saya.
Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega? Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai berpikir bahwa ’Apakah saya menikah terlalu cepat?’
I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk menjalani ini bersamanya. Pertanyaan ‘what if’ adalah pertanyaan mengawang-awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima saja semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya yang bertanya-tanya akan krisis identitasnya. ”Ada apa dengan kamu, No? Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu itu yang mana?”
Dan saya tidak tahu jawabannya.
Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. ”Ain, I work from home, like I always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and adored me so much. I live in a house that have a beautiful scenery. But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?”
Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. ”What do you really really really want, Jo?”
Sadly, I have no answer.
Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar. Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa, punya jawaban melegakan.
”Retnadi sayang, you’re married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It’s OK, untuk tidak punya jawaban atas segala hal. It’s OK, untuk bilang sama kepala dan dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui, dengan ”Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi saya akan belajar untuk mencarinya.” It’s OK, and we still love you. So take your time, Retnadi. Take your time. Love you,” ucap Citra mengelus hati saya.
***
Pelajaran 6: Dua Aksioma
Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang kebenarannya tak terbantahkan. Salah satu aksioma komunikasi yang terkenal adalah ‘we cannot not communicate’. Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada komponen nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
Dan di umur 24 tahun, saya pun mencoba menyusun dua aksioma saya. Pertama, we can’t pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang. Pun saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan, dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras mungkin, hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it’s OK, because we can’t pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.
Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya jawaban atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika, banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa saya boleh menjawab ’I don’t know how. I just know’, atau ’I don’t know, now. Let’s figure it out later.’
Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke kantor, sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum secangkir kopi susu. This is it. The moment of happiness. I’m just happy. I just know.
Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan. Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please tell me what to do. Please tell me what to do.
Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan sabarnya.
Ah, betapa melegakan.
Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya, saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada Tuhan. Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
Sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini, tentu akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan. And it’s ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John Legend ”We’re just ordinary people, we don’t which way to go. ‘Cause we’re ordinary people, maybe we should take it slow.”
Dan pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang kelas ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini berlangsung selamanya. Dan untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo*. Amin.
***
*Attraversiamo (Italian phrase): Let’s cross over.
PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan tambahan deskripsi kata sifat, mungkin kata ’pernikahan’ bisa menjadi suatu kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata sifat lain, selain: bahagia.
Yes, I’m happily married. I just know.
Izin repost di blog ya.. :) adreamer.blogspot.com sumber dicantumkan. Saya suka sekali tulisan ini