Catur pulangggggg ...
sungkem Ma, Pa
(rindu betapa ... tak terkatakan)
Salam kelahiran!
Berkurang satu tahun usiamu kini
Hak nafasmu kembali diperpendek.
Kerut wajahmu telah banyak terlihat, kau bukan kanak lagi.
Hmm, di usiamu kini, apa yang sudah kamu perbuat untuk memperbaiki diri? Bekerja?
Aktivitasmu kulihat monoton. Pagi tergagap terbangun dan bersiap menuju kantor. Bersapa dengan teman-temanmu dan berbicara apa-apa yang kau nilai perlu. Bermanfaat atau tidak, kau sendiri yang tahu. Pulang sore hari atau malam jika kau lembur. Setelah itu kau tergeletak di kamarmu dengan capek badan menyelimuti. Istirahat dan tidur. Besok bangun dan bergesa untuk kerja kembali.
Begitukah kehidupon yang akan kau bangun? Begitu sajakah hari-harimu dilalui? bagaimana dengan rencanamu di masa depan? Di mana kedudukanmu sebagai manusia, apakah kau memikirkan mereka-mereka yang menengadahkan hati untuk meminta bantuan? Apakah kau pernah merasa bermanfaat bagi orang lain? Bantuan apa yang pernah kau berikan, seberapa besar kau meringankan beban orang yang terhimpit? Oh, jangan-jangan kau tidak pernah. Mengajarkan ilmu agama sekali pun tidak, karena aku tahu, kau tidak tahu banyak tentang agama. Ingatlah, sebaik-baik umat adalah mereka yang besar manfaatnya bagi orang lain. Bukankah kau sering mendengar tentang pengakuan seseorang yang mengatakan bahwa ia akan merasa begitu bahagia ketika ia bisa memberi? Tidakkah kau ingin melakukannya? Sepertinya kau sibuk memikirkan diri sendiri.
Ah, kau menggeleng, tapi baiklah, katakan padaku apa yang pernah atau sedang kau lakukan untuk memperbaiki diri.
Diam? Ya, aku tahu, kau anak pemalu yang selalu segan untuk mengatakan.
Salam kelahiran, Catriks!
Di malam ini, seharusnya kau merenung, berintrospeksi, menilai, atau sekedar membayangkan tentang hal-hal yang menarik dalam hidup yang telah kau lalui, membayangkan hal-hal memalukan yang pernah kau lakukan dan bertekad untuk memperbaiki. Kau berpotensi untuk menjadi anak yang bebal!
Oya, aku lupa, malam ini kau sibuk dengan pekerjaan rumahmu. Aku lihat sebenarnya kau ingin melakukan, tapi sebuah pekerjaan memburumu dengan batas waktu yang begitu mepet. Besok harus selesai. Bisakah?
Met ulang tahun, Catriks!
Aku bingung harus mengucapkan apa untuk ini. Selamat berbahagia atau selamat panjang umur. Hanya saja kedua kata itu tak cocok untuk diucapkan saat ini. Mengapa? Karena aku melihat wajahmu tak seterang yang kuingin. Tapi, setidaknya bersyukurlah, Catriks! Tuhan telah memberimu waktu sekian tahun dengan gratis! Kau tak perlu menyewanya seperti kontrakanmu di situ yang harus kau bayar tiap bulan.
Sembilan Oktober, persis hari ini, ibu yang kau cintai melahirkanmu. Ucapkanlah terimakasih padanya, walau mungkin beliau saat ini tidak ingat bahwa kamu sebagai anaknya sedang berulang tahun. Ibumu mempunyai kesibukan sendiri, maka ucapkanlah terima kasih padanya, jika kau ingin. Tapi jangan paksakan diri, karena ini akan mengagetkan beliau. Bukankah sebelumnya dia tidak pernah mengucapkan kata itu? Ya, aku tahu, ucapan selamat ulang tahun seorang ibu hanya dipunyai oleh keluarga-keluarga yang berpendidikan dan yang merasa berpendidkan. Sedang kau Catriks, kau berasal dari keluarga yang begitu sangat sederhana. Bahkan ternyata ibumu dapat mengingat hari kelahiranmu sebelum menuliskan akte kelahiran adalah sesuatu yang sangat mengejutkan. Biasanya orang tua seperti dalam keluargamu banyak yang lupa kapan anaknya lahir. Mereka tidak tahu kalender. Yang mereka ingat biasanya hari kelahiran jawa: senin pahing, selasa wage, jumat kliwon dan sebagainya. Tapi lupakan hal ini. Sepertinya tidak begitu penting.
Sembilan Oktober hari ini, bertepatan dengan bulan Ramadhan 1427 Hijriah, di hari kelima belas. Semoga berkah untuk hari esok yang akan kau lalui.
Tunggu, sepertinya kau ingin mengatakan sebuah harapan, katakanlah di hari yang baik ini, teman, katakanlah!
Oke, sebelumnya aku sampaikan terima kasih karena kau mengingat hari kelahiranku dan memberi sekedar ucapan. Tak banyak yang melakukan itu, dalam hal ini kau hanya memiliki sedikit teman.
Tentu, sebagai seorang anak manusia, aku punya pengharapan, keinginan, kekarepan, klangenan, dan apalah istilahnya. Tapi maaf, tak akan satu pun keinginanku yang akan kukatakan padamu. Apabila pernah aku mengatakan, itu berarti keinginan yang sepele, yang tak begitu aku pikirkan. Dengan kata lain, keinginanku yang serius akan aku simpan sebagai milik pribadi dan bersifat privacy. Kau tak berhak untuk mengetahui. Kau mengenalku, tapi kau tak mengerti isi di kedalamanku. Begitu juga dengan kehendakku. Apa pun yang akan aku lakukan adalah sebulat-bulat apa yang memang ingin aku lakukan. Kau tak perlu banyak bicara, tak perlu banyak menilai, apalagi menuntunku ke sebuah jalan.
Maka kuminta, biarlah semua menjadi rahasiaku. Bukankah semua orang menyimpan rahasia?
Maka, biarlah aku melangkah dengan menurut bekal sebanyak yang aku miliki. Hanya saja aku ingin kau tahu, bekal itu selalu aku tambah, dengan cepat menumpuk atau pelan, sebutir demi sebutir.
Begitu kawanku.
Kembali, di hari ini, kau tampakkan kesombonganmu, Catriks!
Baiklah, aku akan menceritakan sepenggal kisah yang kecil, yang tidak akan dicatat oleh siapa pun, apalagi sebagai sebuah sejarah.
Tahun 67 awal, sekitar itu, Marman tumbuh menjadi remaja desa dengan hari-hari penuh ancaman. Semenjak kakak dan saudara-saudaranya ditangkap dan di bawa entah ke mana, ia harus menjalani hidup di bawah sebuah pengawasan tombak pemuda-pemuda desa yang mengatasnamakan Pembela Negara.
Marman, walau usianya baru 15 tahun, dituduh sebagai antek. Tuduhan ini didasarkan pada pernah hadirnya Marman dan kakak pertamanya pada sebuah perkumpulan PKI yang mengundangnya. Dan mereka hanya datang sekali, sebelum peristiwa besar itu kemudian terjadi.
Padahal ia belum mengerti apa-apa. Kesehariannya sebelum peristiwa besar itu, hanyalah berkutat di sawah dan menggembala kerbau milik ayahnya.
Suatu hari, ketika ia sedang menggembala, Marman merenung duduk di sebuah pematang. Ia berpikir atau entah apa, tentang kakak pertamanya yang diciduk oleh tentara dan dikabarkan akan dibunuh.
Pada saat menekur, Darjo, sebut saja demikian, yang sebenarnya adalah teman bermainnya, melihat dan curiga. Darjo lah yang selama itu bertugas untuk membuntutinya.
Dengan menggenggam tombak, Darjo mendekat dan membentak. Tombaknya diacungkan dekat, dekat sekali dengan mata Marman.
Tentu saja remaja itu kaget. Lebih kaget ketika ia tahu bahwa yang tega mengacungkan tombak itu adalah sahabatnya.
Mikirna apa ko? Arep mlayu apa? Tok pateni sisan, ngko! PKI!
(Mikirin apa kamu? Mau lari apa? Aku bunuh sekalian ntar!! PKI!)
Sontak, dada Marman bergejolak.
Tapi apa daya, Darjo membawa tombak, badannya pun jauh lebih besar. Marman menahan ancaman.
Beberapa hari segera berganti.
Malamnya, rumah keluarga Marman ditunggui oleh Darjo, lengkap dengan golok terselip di pinggang dan tombak di tangan.
Mengetahui hal ini, Marman sudah tak tahan. Jiwanya berontak. Ia pun mengambil golok. Tapi pada saat mau keluar, ibunya menahannya dengan rengekan. Kalau Marman sampai ribut dengan Darjo, maka seisi kampung akan benar-benar menuduh bahwa keluarganya adalah keluarga PKI. Walau mereka sebenarnya tahu, tidak.
Marman meletakkan golok pada tempat semula. Ia tidak kuat melihat mata Ibu dan tidak ingin menyusul kakaknya yang sudah ditangkap dan dibawa oleh tentara.
Tapi beberapa jam kemudian ia keluar juga, bukan untuk melawan Darjo, rasa mulas dalam perutnya sudah tidak bisa ia tahan lagi. Ia ingin buang air besar di saluran air dekat sawah beberapa puluh meter dari rumah.
Arep meng ndi ko?!
(mau ke mana kau?!)
ngising. (buang air besar)
Darjo tidak percaya. Ia mengikuti Marman sampai ke saluran air dan menunggui Marman membuang hajatnya.
Saat itulah rasa di dada Marman tak tertahan. Tenggorokkannya tersedak menahan sikap keterlaluan Darjo. Sampai sebegitunya Darjo, sahabatnya, mengawasi bagai ada durjana yang hina yang pantas untuk segara dibunuh.
Saat itulah sumpahnya jatuh.
Sumpah seorang anak remaja yang dilakukan selesai buang air besar.
Oalah, Darjo, Darjo! Ko ngerti uripku nang ndi, sedina-dina ngapa baen. Dhewek dolan bareng, deneng tega temen ko karo aku? Ya, rungokna Darjo, sapa ndingin sing arep mati. Ko apa aku. Ning aku sumpah, nek ko ndisit sing mati, tok gotong mayitmu tekan kubur!
(Oalah Darjo, Darjo! Kamu tahu hidupku di mana, sehari-hari melakukan apa. Kita bermain bersama. Kenapa kau tega sekali sama aku? Ya, dengarkan Darjo, siapa dulu yang akan mati. Kau atau aku. Tapi aku bersumpah, jika kau dulu yang mati, aku akan menggotong mayatmu sampai ke kubur!)
Mungkin kata-kata itu tidak sama persis, tapi itulah pada intinya.
Waktu tak berhenti bagi mereka. Pada akhirnya Marman tidak ikut ditangkap. Keadaan kembali tenang, menyisakan pedih di hati keluarga Marman. Tapi mereka tetap menjalani hidup dengan anggota keluarga yang hilang satu, (kakak Marman yang ditangkap), dengan sikap dari masyarakat yang menganggap mereka sebagai golongan merah.
Beberapa belas bulan kemudian wabah malaria datang. Tak sedikit orang yang mati.
Darjo ikut terserang penyakit ini. Ia dibawa oleh beberapa temannya ke rumah sakit kabupaten yang jauh. Kendaraan pada waktu itu belumlah ada di desanya. Ia digotong oleh teman-temannya ke
Teman-temannya bukanlah orang-orang yang setia. Mereka sudah terlalu capek membawa Darjo ke rumah sakit, sehingga setelah Darjo meninggal, mereka pulang tanpa membawa mayat Darjo. Mereka hanya melaporkan kepada keluarganya.
Kayu terbakar api.
Marman mendengar berita ini.
Bergegas ia berganti baju dan berlari menuju rumah sakit kabupaten. Ia berlari secepat kaki bisa diayunkan. Padahal jarak antara desa dan rumah sakit memakan waktu seperempat hari atau sekitar 8 jam. Tapi ia tidak memikirkan apa-apa. Ia terus berlari. Sumpahnya terngiang di kepala memanaskan darah.
Sampai di
Dengan sekuat tekad, Marman mengangkat mayat Darjo ke punggungnya. Seperti seorang ayah yang menggendong anak kesayangan yang mati dalam pelukan.
Ya, Marman menggendong mayat Darjo pulang, sendiri.
Entah apa yang ada dalam pikirannya, karena saat di tengah jalan, rombongan orang-orang desa telah menyusulnya dan Marman tetap tidak mau menurunkan mayat Darjo dari pundaknya.
Sepanjang perjalanan, Marman tidak menurunkan mayat Darjo dari pundak, sekali pun.
Orang-orang heran, tenaga apakah yang dipunyai oleh pemuda yang bernama Marman itu. Untuk berjalan saja tanpa membawa apa-apa, jarak desa dan rumah sakit akan membutuhkan istirahat beberapa kali. Tapi tidak bagi Marman dengan membawa mayat yang badannya lebih besar darinya.
Mungkin itulah yang dinamakan tekad.
Aneh, karena orang-orang pada waktu itu merasa takut melihat muka Marman. Kisah antara Marman dan Darjo telah mereka ketahui.
Keringat membanjir. Nafas memburu. Marman tetap berjalan dengan langkah tegap.
Orang-orang mengiringinya dari belakang.
Menjelang Isya, mayat sampai di rumah orang tuanya. Isak tangis terdengar di mana-mana. Marman meletakkan mayat Darjo di atas meja yang telah disiapkan.
Pada saat ibu Darjo memeluk mayat anaknya, Marman jatuh pingsan. Ia terlalu lelah dan kehilangan tenaga.
Setelah jauh waktu Isya berlalu, mayat Darjo siap dimakamkan.
Marman yang telah siuman, mengambil bambu penggotong keranda di bagian depan. Dengan empat orang, ia menggotong keranda itu, mengantarkan mayat Darjo ke kubur hingga pemakaman usai dan doa dipanjatkan.
Selesai pemakaman, dengan langkah gontai, Marman pergi ke saluran air dekat sawah beberapa puluh meter dari rumahnya. Di tempat itulah ia pernah mengucapkan sumpah.
Ia terduduk. Pundaknya berguncang-guncang sepanjang malam. Tapi setitik air mata pun tak pernah menetes.
Sumpahnya terlaksana sudah.
Itulah sedikit kisahmu yang kau rahasiakan dan sempat bocor kepada anakmu. Mungkin kisahmu banyak yang disimpan dan jauh lebih perih, karena kau selalu terdiam bila ada yang menanyakan. Diam, ya, itulah bahasamu. Tapi setidaknya aku tahu sedikit, kini. Dan aku bangga telah dapat menuliskannya.
Kini kau telah tua. Tapi hidupmu tak lepas dari sebuah keprihatinan. Setelah kau berkeluarga dan mempunyai anak, kau menyekolahkannya sampai perguruan tinggi, walau kau hanya seorang buruh tani. Kau menyekolahkan anak perempuan pertamamu, walau masyarakat mengecap, anakmu tidak akan jadi apa-apa karena ia keturunan dari golongan merah. Tapi semua orang tahu tekadmu, walau mereka tak tahu seberapa besar tekad itu tergenggam dalam kepalan tanganmu.
Orang memandangmu sebagai pribadi yang bodoh dan miskin, yang sering dipencundangi oleh orang lain, tapi kau telah berhasil mengantar anak-anakmu menjadi sarjana. Kau lebih mulia dari ayah mana pun, karena perjuanganmu begitu besar.
Di bulan September ini, ketika kenangan itu kembali muncul, jika aku boleh berharap, maafkanlah Darjo, maafkan juga orang-orang yang telah menangkap kakakmu yang dituduh PKI, dan telah meninggal. Maafkanlah, walau kejadian itu tak akan pernah hilang dalam ingatan hidupmu.
Cukup simpanlah itu semua sebagai sepenggal kisah.
Aku bangga padamu.
Aku bangga bisa menulis ini.
Aku bangga dengan tekadmu.
Dan aku jauh lebih bangga, karena darahmu menitis dalam tubuhku, Ayah.
Semoga Alloh selalu menyayangimu, melebihi kau menyayangiku dikala aku kecil.
Barokallohu. Amin