Monday, June 09, 2008
posted by catur catriks at 8:05 AM | Permalink
SK MEMPERTEMUKAN (JODOH) KAMI

Pernikahan impian saya tak perlu perjanjian pra-nikah. Bagi saya, janji seorang pria kepada Tuhan saat ijab kabul adalah janji yang paling utama. Karena itu adalah janji seorang pria pada penciptanya, Sang Maha. Dan saya selalu percaya, bahwa para pecinta Tuhan, tak akan pernah berani untuk mendustaiNya.


***

Karena ingatan yang cukup pendek, saya lupa dengan kalender. Tepatnya kapan dan hari apa saya mulai bergabung dengan milis Sekolah Kehidupan (SK). Mungkin, sekarang waktu tidak begitu penting. Aku hanya sedikit ingat tentang proses. Tapi ketika sampai pada tahap yang tak terduga, saya menyadari bahwa sesuatu yang terabaikan, bisa menjadi cukup penting jika aku menuliskannya. Karena di milis Sekolah Kehidupan inilah, kutemukan jodohku.

Adalah hari-hari yang lesu saya lewati. Saat itu saya baru saja jatuh untuk sebuah urusan yang cukup serius. Emosi saya sangat tidak stabil. Banyak diam, banyak menatap dengan pandangan kosong, gampang tersinggung.

Hari kerja kantor yang tidak produktif, saya gunakan untuk membuka-buka yahoogroups. Begitu banyak milis tersedia di sana. Dengan pemilihan yang tidak saksama, saya bergabung dengan beberapa milis sekaligus. Sengaja saya ikut banyak milis karena sekarang milis ibarat angin yang bertiup kencang masuk ke rumah manakala pintunya dibuka, dengan membawa sekian banyak informasi.

Milis yang saya ikuti hanya sedikit yang ber-web. Di antara yang sedikit tersebut, salah satunya adalah milis SekolahKehidupan (SK).

Sebelum saya meng-klik sebagai awal penggabungan, terlebih dahulu saya buka content web, saya baca, saya jatuh hati, dan saya subcribe. Banyak arsip tulisan di web SK yang saya baca sekali dan ternyata saya tidak cukup puas karena isinya terlalu menarik. Maka saya mengopi arsip-arsip tulisan tersebut dan saya simpan pada folder tersendiri untuk saya baca kembali di lain kesempatan.

Saya tidak langsung menjadi anggota yang aktif, tapi saya cukup memerhatikan dengan membaca postingan yang masuk, yang saat itu belum begitu membanjir. Sampai akhirnya, pada saat itu di milis sedang ramai-ramainya mempersiapkan HUT SK yang pertama, termasuk juga pengumuman lomba menulis dengan tema hikmah kehidupan.

Saya ikut menulis. Dan karena pengumuman tulisan akan dibacakan pada saat acara ulang tahun SK di Rasuna Said, Jakarta, maka saya ikut mendaftar sebagai peserta. Alhamdulillah, tulisan saya terpilih.

Pada saat acara ultah SK I di Rasuna Said itulah untuk pertama kalinya saya melihat seorang gadis bermata belo dan berjilbab hitam, duduk di kursi urutan kesekian.

Kami tak saling menyapa, atau berkenalan, atau mencuri pandangan. Saya hanya melihat begitu saja di antara banyak orang. Begitu saja, tak ada apa-apa, sampai acara selesai dan pulang. Bahkan saya tidak mengenal namanya.

Dan seperti sebuah jalan yang tersambung-sambung, kegiatan SK selalu mempertemukan kami, yang kebetulan sering sama-sama kebagian menjadi panitia. Seingatku, hanya ada 3 pertemuan di SK yang mempertemukan kami. Yang pertama seperti yang telah disebut, yaitu pada ulang tahun SK I, yang kedua cucurak dan sosialisasi program kerja di Bogor, serta yang ketiga adalah raker SK di Bandung. Aku sudah lupa untuk masing-masing bulannya. Dan dalam tiga pertemuan itu, hubungan kami seperti hubungan dengan teman-teman yang lain, bahkan kami terlihat jauh, tidak akrab, dan tidak berpotensi.

Tapi saya telah tahu kalau gadis itu bernama Retnadi Nur’aini (Retno).

Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Kita hanya tahu setelah esok hari berganti dengan hari ini. Alloh telah memasukkan siang ke dalam malam dan malam ke dalam siang. Ia memberikan kekuasaan terhadap apa yang Ia kehendaki.

Dan pada waktu yang berjalan, lewat postingan-postingan di milis, saya atau tepatnya kami, seperti merasakan ada gejala yang lain. Mungkin samar bila diidentifikasikan. Tapi saya menyebutnya sebagai gejala ketertarikan.

Gejala ketertarikan tersebut menempati waktu yang cukup lama sampai akhirnya saya tersadar bahwa hal tersebut tidak boleh dibiarkan menggantung. Dengan ragu yang diyakinkan dan dengan takut yang saya beranikan, setelah berdoa, saya ajak dia untuk bertemu secara khusus, walau tidak di tempat yang spesial.

(Saat itu, benakku masih berkata, bahwa aku bukanlah tipe-nya).

Saat pertemuan tiba, langsung saja kuajak dia untuk membina hubungan yang serius. Mirip sebuah ta’aruf (perkenalan), kusampaikan apa-apa yang bisa kusampaikan tentang diriku, keluargaku, keadaanku saat itu, dan sedikit keinginan dan cita-citaku ke depan. Kusampaikan juga bahwa saya adalah laki-laki yang tidak berpredikat, tidak gaul, dan jauh dari kata mapan (walau saya sendiri kurang sepakat jika ini menjadi alasan substansial). Tapi bagaimanapun isi perkenalan ini menempati posisi yang cukup penting. Karena diakui atau tidak, banyak para bujang yang menunda pernikahan hanya karena alasan materi dan banyak para perempuan yang meragukan ajakan dari laki-laki yang berpenghasilan minim.

Dengan penyampaian yang kurang begitu lancar, kuutarakan yang aku anggap perlu. Termasuk juga keyakinan bahwa apabila kita serius mempersiapkan urusan nikah, pasti Alloh akan membantu sesuai dengan janjiNya.

Saatnya meminta jawaban. Saat hati menegang akan kata yang segera ia utarakan. Karena kali pertama itulah saya mengajak seorang wanita untuk membina hubungan yang serius secara langsung.

Ia menjawab dengan isyarat yang begitu nyata, khas seorang perempuan. Dia menyambutku dengan sebuah anggukan. Walau pelan, anggukan kepala itu tiba-tiba menjadi sebuah gerakan yang begitu indah. Seperti bunga yang mekar dengan gerak slowmotion. Kulafalkan alhamdulillah sebagai rasa syukur.

Agar lebih tegas, kutemui kedua orangtuanya dan bilang bahwa aku serius dengan anaknya untuk membina hubungan ke arah pernikahan. Mereka menyambut dengan positif, walau sebenarnya kedatanganku cukup mengaggetkan. “Kok, cepat sekali dan tiba-tiba?” Mungkin itu yang ingin mereka katakan. Tidak apa-apa saya kira. Untuk urusan ini, memang harus disegerakan, tapi bukan berarti terburu-buru.

Dalam waktu yang pendek, aku segera melamarnya. Walau datang dengan Om dan Tante, tapi aku melamarnya sendiri. Sedikit gugup memang ketika bicara untuk mengkhitbah. Tapi harus diberanikan. Lebih ‘berasa’ sepertinya jika kita tertarik dengan seorang perempuan, kita sendirilah yang melamarnya, bukan diwakili oleh orangtua atau wakil-wakil lain. Alhamdulillah, lamaranku bersambut. Semua lancar, tampaknya.

Baru kemudian setelah pulang, aku tersadar sepenuhnya apa yang akan saya hadapi: mempersiapkan sebuah pernikahan. Buru-buru kuhitung jumlah tabunganku, buru-buru kuhitung jarak persiapan, dan kemudian menyimpulkan, “Bahkan untuk acara sederhana tanpa resepsipun, jumlah tabunganku sama sekali tidak cukup”. Gajiku selama ini sudah aku gunakan untuk keperluan yang lain dan aku tak bisa mengandalkan orang tua. Dahiku berkerut.

Hari-hari menjelang pernikahan, saya selalu dipenuhi dengan perasaan takut, ragu-ragu, dan bingung. Bagaimana caranya, bagaimana caranya.

Untuk sebuah defence atau apologi, saya beranggapan bahwa masalah seperti ini memang harus dihadapi oleh setiap orang yang akan menikah. Masalah kepercayaan diri (untuk menjadi qawam keluarga) dan masalah yang sangat klise, tapi berat dan memusingkan, biaya. Tapi bukan berarti ini menjadi penghalang atau penunda pelaksanaan.

Di tengah kebingunganku, tiba-tiba saya mendapat imel dari calon istri. Imel berupa ekspektasi yang begitu tinggi, tapi sederhana, mengagetkan sekaligus menenangkan. Imel tersebut berjudul “Pernikahan Impian Saya”.

Bunyi imel tersebut antara lain:

Pernikahan impian saya tak perlu perjanjian pra-nikah. Bagi saya, janji seorang pria kepada Tuhan saat ijab kabul adalah janji yang paling utama. Karena itu adalah janji seorang pria pada penciptanya, Sang Maha. Dan saya selalu percaya, bahwa para pecinta Tuhan, tak akan pernah berani untuk mendustaiNya.

Pernikahan impian saya tak perlu perayaan megah. Saya tak membutuhkannya. Bagi saya, lebih penting adalah rencana setelahnya.

Pernikahan impian saya tak perlu mahar luar biasa ataupun seserahan tujuh rupa. Tapi saya tahu, mahar saya mahal harganya. Saking mahalnya, mahar yang nantinya akan saya minta, calon suami saya malahan tak akan bisa menemukannya di toko serba ada. Karena mahar itu berupa niatan untuk terus memperbaiki diri dan juga tanpa henti untuk terus belajar saling memahami.

Pernikahan impian saya tak perlu gaun pengantin sewarna dengan taplak meja. Saya tahu, apapun yang akan saya kenakan nantinya, saya akan tampak istimewa. Karena gaun pengantin saya telah ditenun dengan menggunakan benang-benang terindah di dunia. Namanya, benang-benang bahagia. Bahagia ini pula yang nantinya akan digunakan untuk merias wajah saya, sehingga saya percaya, bahwa apapun riasannya, saya akan tampak cantik luar biasa.

Pernikahan impian saya tak perlu banyak bunga. Karena saya tahu, setiap hari dari sisa umur saya nantinya akan diisi oleh saya dan suami saya dengan mengumpulkan bunga-bunga tercantik di dunia. Untuk kemudian ditanam dalam pot-pot bunga yang menghiasi setiap sudut ruang hati saya. Tempat di mana kami nantinya akan bercengkerama setiap petang. Menanti matahari terbenam, sambil mengagumi kecantikan bunga-bunga langka ini, yang dengan ajaibnya akan mekar sepanjang masa.

***

Aku ingat sebuah kalimat, “Jika kau berurusan dengan orang yang akan menikah, maka mudahkanlah urusannya, mudahkanlah urusannya.” Dan betapa saya sangat bersyukur bahwa saya telah dipermudah jalan oleh calon istri saya sendiri.

Seiring dengan harapan, kami (saya, calon istri, dan kedua ortu kami) bersepakat untuk mengadakan acara pernikahan dengan sederhana tanpa resepsi, pun untuk tidak mengabarkan kepada teman-teman.

Tapi karena sebuah pernikahan harus dikabarkan, maka kami menyiarkannya setelah selesai pelaksanaan, dengan risiko, ini akan cukup mengagetkan dan mengundang banyak pertanyaan. Tidak jadi soal. Sepanjang kita benar, sedikit perbedaan bisa dibuat, yang penting kita bisa menempatkan kemampuan pada posisi yang nyaman.

Begitulah.

Tapi urusan bukan berarti sudah selesai. Setelah aku beli ini, beli itu, bayar persiapan ini persiapan itu, uang saya habis sama sekali, sedang waktu nikah tinggal lima hari.

Tapi saudaraku, sekali lagi, pertolongan Alloh ternyata begitu dekat. Tiga buku anak yang aku tulis (yang satu bersama seorang teman), dan lama tak ada kabarnya, tiba-tiba saja dibayar! (walau hanya baru uang mukanya). Alhamdullillah, begitu longgar benakku yang tengah sesak.

Pagi, 1 Mei 2008, di Masjid Baiturrohmah, Petamburan, Jakarta Barat, kami melangsungkan akad nikah, diawali pembacaan dua kalimat syahadat, dengan mahar seperangkat alat sholat, Catur Sukono dan Retnadi Nur’aini resmi menjadi suami istri.

Segala puji bagi Alloh. Semoga Ia memberkahi kehidupan kami dan diberi keturunan yang shaleh/hah.

Barakallohu

Special dedicated to:

Istriku, Retnadi Nur’aini (Retno). I love you!

Thanx to:

1. Keluarga yang selalu mengiringi kami dengan kasih dan doa

2. Mas Nursalam dan Mas Suhadi (plus istri dan 3 jagoannya) yang datang di hari bahagia

3. Teman-teman SK yang datang dalam syukuran kecil tanggal 18 Mei ‘08

4. Teman-teman SK Bogor, Taufiq, Asma, dan Nia atas kehangatan selama ini

5. Mas Dani dan Mas Epri yang membantu istriku untuk bergabung dan belajar dengan/pada sebuah organisasi harokah. Jazakalloh

6. Sahabat-sahabat SK semuanya, di manapun berada dan pada kesempatan apa pun

 
Tuesday, June 03, 2008
posted by catur catriks at 8:43 AM | Permalink
Dan, 30 Hari Kemudian
Oleh Retnadi Nur’aini (Istri Tercinta)



Beberapa bulan sebelum menikah, saya bertengkar dengan sahabat saya, Citra. Pertengkaran yang merupakan pertengkaran terhebat, sekaligus juga pertengkaran perdana selama rentang waktu lima tahun persahabatan kami.

Pertengkaran itu dimulai dari satu esai saya tentang suatu pernikahan impian. Saat makan malam di GulTik (Gulai Tikungan) Blok M dekat SMUN 70, kami pun membahasnya. Dan komentar Citra sungguh-sungguh di luar dugaan saya.

“You know what, No? Untuk ukuran seorang yang akan menikah, ekspektasi lo kelewat tinggi. Lo kelewat banyak masukin cinta dan romantisme berkilauan. Itu nggak fair untuk kehidupan yang akan lo jalani nantinya,” ujarnya sambil menatap tajam mata saya.

Mendengar komentar sepedas itu, awalnya saya cuma sanggup terperangah. Dilanjutkan dengan debat panjang selama hampir dua jam lamanya. Yang berujung pada saya menangis karena marah—ya, reaksi katarsis saya untuk banyak emosi memang menangis—selama hampir satu jam lamanya di hadapan Citra.

“I know you hate me right now, Sweetie. Tapi gua percaya bahwa adakalanya cinta tidak dikatakan, tapi ditunjukkan dengan perbuatan. Gua sayang sama lo, dan gua harus bilang itu. Maaf, ya, Sayang…” ujar Citra lembut.

Ya, waktu itu saya memang marah sekali pada Citra. Di antara seluruh orang di dunia, dialah yang paling paham segala ketakutan saya tentang pernikahan. Dan saat saya berusaha memerangi ketakutan saya dengan menuliskan suatu esai romantis tentangnya—dalam pandangan saya yang sedang marah saat itu—Citra jugalah yang paling tidak suportif.

Toh sehebat apapun pertengkaran kami malam itu, tiga jam kemudian kami kembali berbaikan. “Meski gua masih sebel sama lo, ya, Neng. Tapi besok udah nggak, kok. Love you, Cit,” ujar saya sambil mencoba tersenyum dengan mata sembab. Yang dibalas dengan bercanda oleh Citra. “Iyalah, you love me, don’t you? Hehehe, love you, No,” ujarnya sambil memeluk saya malam itu sebelum kami berpisah.

Dengan pernyataan Citra yang terus terngiang-ngiang di kepala dan telinga saya.***

30 hari setelah menikah, pernyataan Citra tak juga henti bergema di kepala dan telinga saya. Namun untuk pertama kalinya, saya mulai menganggapnya masuk akal. Untuk pertama kalinya, saya juga mulai belajar tentang suatu konsep pernikahan. Dan untuk pertama kalinya, saya bersyukur, bahwa Citra pernah melempar komentar pedas itu ke hadapan saya dulu.

Well, ada banyak hal yang saya pelajari untuk pertama kalinya, setelah menikah. Dan dalam kurun 30 hari, berikut beberapa di antaranya:

Saya belajar untuk menyiapkan minuman hangat bagi suami setiap pagi dan petang. Saya belajar untuk menyiapkan segelas air putih di samping piring suami saat sarapan, makan siang, atau makan malam. Saya belajar untuk menggandeng tangannya di jalan.

Saya belajar untuk melarutkan dulu deterjen ke dalam ember air selama setengah jam. Saya belajar untuk menyeterika pakaian suami sebelum ia berangkat kerja. Saya belajar untuk merendam bilasan terakhir cucian ke dalam larutan pewangi dan pelembut pakaian.

Saya belajar, bahwa tak semua keinginan saya bisa dipenuhi. Saya belajar, bahwa saat menangis, saya tak harus melulu dihibur. Ada kalanya, saya harus belajar untuk paham, bahwa kekecewaan suami jugalah merupakan suatu bentuk hukuman. Dan saat sumur air mata sudah habis ditimba, saya belajar untuk minta maaf.

Saya belajar bahwa perasaan cemburu memang kerap kali tak masuk akal. Pun sangat irasional, saya belajar untuk jujur, pada apa yang saya rasakan. Sebaliknya, saya juga belajar untuk menerima kecemburuannya berdasarkan hal-hal yang menurutnya signifikan. Dengan demikian, saya belajar untuk menempatkan diri dalam sepatunya, dan merasakan apa yang ia rasakan.

Saya belajar untuk berempati.

Saya belajar bahwa kami dibesarkan dari keluarga yang berbeda, dengan kebiasaan dan selera yang berbeda pula. Sehingga, saya belajar untuk bertanya sebelum mulai membelikannya sesuatu.

Saya juga belajar untuk bertanya sebelum mulai membeli makanan ringan dalam jumlah banyak. Saya juga belajar untuk bertanya, sebelum mulai memindahkan televisi dan menata ruangan. Saya belajar untuk berdiskusi. Saya belajar untuk berkompromi.

Saya belajar bahwa cinta tak lantas membuat kami jadi dukun yang bisa saling membaca pikiran. Karenanya, saya belajar untuk menggunakan kata sifat untuk menjelaskan kata “sayur”, sehingga saat saya meng-sms suami dan minta tolong dibelikan sayur matang, suami tidak malah membelikan sayur mentah untuk dimasak.
Begitu juga saat kami bertengkar.

Saya belajar untuk menjelaskan penyebab kekecewaan secara rasional. Untuk efek emosional yang disebabkan oleh kekecewaan, saya belajar untuk mengunyahnya lumat-lumat, sebelum dilontarkan. Dari sana, saya belajar, bahwa dengan kepala dingin, segala bentuk kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan, bisa didiskusikan.

Saya belajar untuk memijiti kaki dan tangan suami. Saya belajar untuk menghapalkan jenis sayur kesukaannya, merk kopi yang biasa diminumnya, berapa jumlah telur yang ditambahkannya untuk sepiring mi goreng, berapa sendok susu dan madu yang pas di lidahnya untuk segelas susu madu. Saya belajar untuk menyenangkannya.

Saya belajar untuk tidak berlama-lama menerima telepon di kala malam atau di akhir pekan. Sebaliknya, saya juga belajar untuk tak meng-sms teman kantor menanyakan masalah pekerjaan saat mereka sudah berada di rumah. Karena seperti halnya saya yang juga ingin beristirahat di rumah, mereka juga pasti demikian.

Saya belajar bahwa menunggu pasangan pulang itu menyesakkan.
Kita bisa dihantui sejuta kekhawatiran, saat ia tak kunjung datang. Dan karena pada akhirnya saya belajar bahwa khawatir merupakan suatu bentuk emosi yang cukup melelahkan, maka saya pun belajar untuk tidak lagi pulang kerja larut malam.

Saya belajar membiasakan diri membawa oleh-oleh saat berkunjung ke rumah saudara ataupun teman. Saya belajar untuk berusaha selalu membalas sms dan mengangkat telpon. Saya belajar untuk lebih peduli.

Saya belajar membiasakan diri mengucapkan salam. Saya belajar untuk menambahkan kata “Mas” dan “Mbak” pada orang yang lebih tua, pun itu adalah kepada ketiga abang saya yang tak terlalu peduli pada bentuk nama panggilan. Saya belajar untuk menghormati orang lain.
Saya belajar membiasakan diri untuk menggunakan kata “kami”.

Saya belajar untuk selalu menyiapkan uang receh. Saya belajar untuk mengambil uang di ATM dalam jumlah besar ketimbang dalam jumlah sedikit tapi sering. Karena kita tak selalu menemukan ATM. Saya belajar untuk selalu punya stok “keperluan wanita”. Sehingga kali lain saya tiba-tiba “kedatangan tamu”, suami tak perlu jalan kaki ke warung yang cukup jauh pada tengah malam buta. Saya belajar untuk selalu punya antisipasi dan persiapan dalam segala hal.

Saya belajar bahwa toh, pada akhirnya, tak semua ketakutan saya itu terbukti. Beberapa di antaranya ternyata hanyalah kecemasan berlebihan terhadap keengganan akan suatu perubahan. Dan mengutip kata Citra, saya juga belajar bahwa cinta tak melulu harus dikatakan. Melainkan berwujud nyata dalam suatu perbuatan.

Kini, 30 hari lewat sudah, sejak kami berjanji. Semua pelajaran ini juga tak lantas berhenti sampai di sini. Karena masih panjang perjalanan hari. Dan dalam perjalanan itu, kami akan kembali membuat beragam kesalahan. Kami akan kembali berdebat. Kami akan kembali salah paham. Kami akan kembali bertengkar. Pun, kami akan kembali berdiskusi. Kami akan kembali saling minta maaf. Kami akan kembali berkompromi.

Tentu saja, tak semua kompromi punya solusi melegakan. Pun, tak semua hari berhiaskan romantisme berkilauan. Dan tak semua pelajaran ini juga sempurna hasilnya. Namun, dari sana, saya belajar satu hal.
Bahwa kami, tak akan berhenti untuk terus belajar.***


(Persembahan untuk: Diani Citra—sahabat yang menepati janjinya menjadi Mata, Telinga, dan Suara. Juga untuk seseorang yang khilaf menerima saya sebagai istri –Mas Catur Sukono—suami terhebat yang tak pernah lelah untuk menunggu saya belajar menjadi dewasa. Thank God I found you. Semoga khilafmu permanen ya, Ayang)
 
Monday, June 02, 2008
posted by catur catriks at 5:15 PM | Permalink
MENIKAH

Bismillaahirahmanirrahiim

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”

(Q.S. Ar-Rum 21).

Mahasuci Alloh yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan, dan mempertemukan putra-putri kami:

Retnadi Nur’aini

Putri bungsu Bp. Sjamsudin Shiddieq & Ibu Sangi Siti Rahayu

&

Catur Sukono

Putra bungsu Bp. Sunedi & Ibu Kamisah

Untuk menikah, mengikuti sunnah Rosul-Mu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, semoga memperoleh keturunan yang shaleh/hah yang mengabdi kepada-Mu, sukses dan selamat. Amin.

Akad nikah

Kamis, 24 Rabiul Akhir 1429 H/ 1 Mei 2008

di Masjid Baiturrohmah

Tanjung Duren, Grogol Petamburan, Jakarta Barat




(postingan yang telat, he2)