Monday, April 30, 2007
posted by catur catriks at 9:44 AM | Permalink
Yakin

Aku yakin
Tak ada perkara terjadi tanpa alasan
Ketika Tuhan mencipakanku
Malaikat kemudian menuliskan beberapa perkara
Di antaranya rezekiku, ajalku, termasuk jodohku

Berlipat cerita akan aku alami
Antara azam, nyata, dan ridha

Aku harus menyadari
Akhirnya jua hidup akan kembali
Sebagai pribadi dan hamba

Hanya bekal yang akan menyelematkan
Dan hanya Dia sebaik-baik pelindung

 
Monday, April 23, 2007
posted by catur catriks at 5:25 PM | Permalink
Perhatian di batas kewajaran
Sebagai manusia yang membutuhkan perhatian, kia juga sadar atau tanpa sadar sengaja memerhatikan orang lain.
Ini adalah keniscayaan yang sangat normal.

Ada
hukum timbal balik yang sering dibicarakan: jika kau tumbuh di tengah manusia-manusia yang penuh dengan perhatian, maka kau akan besar dengan hati yang dipenuhi bunga perhatian.

Ini kaidah yang benar, hanya saja tidak berlaku secara universal.

- Banyak orang yang hidupnya terabaikan, tapi dia memunyai perhatian yang kuat terhadap orang lain.

- Tak sedikit orang yang memunyai besar perhatian kepada sesama, tapi ia tak suka jika ada orang yang memerhatikannya.

Ada beberapa kalimat yang berbunyai begini:

- Hidup terasa berarti jika kita tahu di dunia ini ada yang memerhatikan kita.

- Saya tidak mau diperhatikan jika yang memerhatikan adalah orang yang tidak saya harapkan.

Jalan tengahnya mungkin bisa dibatasi dengan kata kewajaran.
Tapi adakah yang bisa mengukur batas wajar?

- Ya, tergantung situasinya, Mas!

- Ndak, terserah orangnya aja!

Tentu ini sedikit dilema karena tidak bisa dikalkulasi secara matematis.
Apakah kita tahu batas kebutuhan yang mencakup materi?
Apakah wajar bila disamakan dengan rata-rata?
Saya kira inipun tidak bisa dijadikan ukuran.

Yang menjadi masalah adalah ketika kita terpeleset dalam mengimplementasikan kata ‘perhatian’.

Saat kita memerhatikan lawan jenis, misalnya, sangat mungkin usaha ini melahirkan banyak hasil sementara atau hasil akhir.

Perhatian pertama mengagetkan, perhatian kedua menyenangkan, ketiga mulai kenyang dan bosan, perhatian keempat terasa di hati oring yang diperhatikan sebagai hal yang sangat menyebalkan.

Begini, jika kita (contoh gampangnya) meng-sms gadis/ pria.
Sms pertama yang kita kirim dibalas sama panjang, sms kedua dibalas pendek, sms ketiga tanpa balas, maka sms yg keempat akan diartikan sebagai kiriman yang sama sekali tidak diharapkan.
Padahal tujuan kita hanya untuk memerhatikan.
Keempat sms ini bukan berarti urutan dalam satu waktu, tapi bisa berseri di lain hari.
Nah, ketika sms kita tidak dibalas, mungkin perhatian kita sudah berlebihan, melampaui sebuah batas wajar.

Kita bisa mengangkat gelas yang berisi air penuh, begitu enteng.
Tapi ketika tangan kita mengangkat gelas itu selama satu jam, maka akan ada beban yang begitu berat dari benda sebesar gelas itu.
Tangan kita akan pegal, bergetar, bergoyang, dan akhirnya ada bagian-bagian air yang akan tumpah.

Memang, sebuah perhatian dengan batas yang wajar tidak bisa diukur. Tapi dari gambaran-gambaran di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa perhatian yang kita berikan telah melebihi batas normal apabila ada sebuah reaksi yang tidak nyaman.

Maka simpanlah perhatian kita apabila sesuatu yang ingin selalu kita perhatikan telah memunculkan reaksi itu.
Simpanlah, jika tidak ingin perhatian kita menjadi sesuatu yang sangat menyebalkan bagi orang lain.

Berniat untuk lebih dekat, ternyata malah menjauhkan jarak.

Anda punya perhitungan sendiri?

 
Saturday, April 14, 2007
posted by catur catriks at 11:00 AM | Permalink
Ketika Editor tak Diberi Kesempatan

Memasuki masa baru dari peraturan pemerintah, buku pelajaran sekolah akan diperbarui setiap lima tahun sekali seiring dengan bergantinya kurikulum. Berarti setiap rentang waktu itu hanya sekali pekerjaan penerbit untuk melakukan revisi atau pengembangan terhadap materi buku. Dan mengenai revisi ini, sebenarnya bisa diselesaikan dalam waktu setahun atau molornya, dua tahun. Tiga tahun tersisa? Kosongkah?

Tentu kalangan penerbit mengambil ancang-ancang untuk ini, mulai tahun ini. Penerbit yang memunyai karyawan (editor) banyak akan lebih berpikir bagaimana dalam waktu itu tidak terjadi kekosongan pekerjaan editor. Penerbit tidak mungkin menggaji para editornya yang hanya datang ke kantor tanpa bekerja. Atau penerbit akan menghitung beberapa kali untuk mengangkat karyawan baru menjadi pegawai tetap. Tujuannya mungkin untuk menghindari penumpukan karyawan tanpa kecukupan/ketersediaan pekerjaan.

Hal ini terjadi pada tempat saya bekerja. Pengerjaan untuk buku-buku pelajaran sebentar lagi selesai. Jika selesai, maka dalam waktu beberapa tahun ke depan pekerjaan editor kosong, sampai pada adanya perubahan kurikulum lima tahun mendatang. Untuk menanggapi situasi yang dihadapi tersebut, salah satunya penerbit terpaksa (?) tidak mengangkat para editor yang telah dikontrak/masa kontraknya habis untuk menjadi karyawan tetap. Ada beberapa teman yang telah dikontrak selama satu tahun, begitu kontrak selesai, sementara pekerjaan masih ada, ia dikontrak kembali selama enam bulan tanpa adanya kejelasan apakah setelah enam bulan ke depan ia akan diangkat atau tidak.

Ini bukan kebiasaan di perusahaan tempat saya bekerja. Biasanya perusahaan akan mengontrak karyawan (editor) selama enam bulan pertama. Selama/setelah itu ada penilaian apakah ia berkompetensi untuk menjadi karyawan tetap atau tidak. Jika iya, maka ia akan diangkat, tapi jika selama enam bulan hasil pekerjaannya kurang sesuai, ia akan dipersilakan untuk mencari pekerjan lain.

Kembali, pekerjaan untuk pengeditan buku pelajaran sebentar lagi akan selesai. Penebit mulai berpikir untuk mencari incaran lain.

Maka sekarang, meliriklah penerbit-penerbit buku pelajaran pada buku pengayaan. Yaitu buku-buku penunjang buku pelajaran seperti ringkasan materi, latihan soal dan pembahasan, ensiklopedi untuk jenis-jenis mata pelajaran, bank soal, dan lain-lain.

Tapi perlu disadari, lahan pekerjaan ini tak semelimpah buku pelajaran.

Perburuan pun dimulai. Penerbit memasang iklan di media terkemuka. Penerbit membutuhkan naskah-naskah buku pengayaan dari SD-SMA. Penerbit mencari penulis. Anehnya kebutuhan akan hal ini tidak diketahui oleh para editornya sendiri. Tidak ada pemberitahuan dari perusahaan. Para editor tidak mengetahui bahwa ditempat mereka bekerja sedang dibutuhkan sejumlah naskah.

Lantas, apa yang dipermasalahkan?

Dalam masa kerja beberapa tahun, seorang editor di bidangnya sebenarnya telah begitu berpengalaman dalam pengerjaan naskah buku. Dalam beberapa kasus, seorang editor kerap kali merombak 50-60 persen naskah dari penulis untuk dipersiapkan menjadi naskah yang layak terbit. Bahkan untuk buku pelajaran SD, sering ada yang merombak sampai 90 persen. Dan tetap nama penulisnya dipertahankan sedang nama editor tetaplah ditulis sbagai editor bukan sebagai orang yang ikut menyusun. Ironis.

Dengan demikian sebenarnya editor mampu – secara pribadi – untuk menyusun sebuah naskah yang layak diterbitkan. Ya, editor MAMPU!!!

Jadi?

Jadi mengapa penerbit harus mencari penulis dari luar? Mengapa penerbit tidak memberdayakan tenaga-tenaganya (editor) untuk diberi kesempatan menulis? Ingat, pada waktu-waktu ke depan akan banyak editor yang kekurangan pekerjaan. Apakah karena penerbit mencari penulis yang terkenal dengan gelar tinggi S2 atau S3? Karena nama2 itu bisa mendongkrak penjualan? Tapi toh yang sudah-sudah, naskah yang datang ke penerbit selalu masih berantakan. Tidak jaminan gelar tinggi menghasilkan karya yang bagus.

Ada baiknya perusahaan membentuk semacam tim ahli dari para editor pada bidang disiplin ilmunya masing-masing. Tim ahli yang berkompeten untuk menyusun naskah-naskah buku yang diperlukan. Jadi beberapa editor berkompeten diberi kesempatan untuk menulis dan editor-editor baru yang kemudian mengedit dan menyempurnakannya. (sepertinya sudah ada beberapa penerbit yang melakukan usaha ini, penulis = editornya sendiri.)

Dengan demikian pekerjaan editor menjadi banyak. Kemungkinan perusahaan menggaji editor yang tidak bekerja pun sedikit. Selain itu usaha ini juga bisa diartikan sebagai pengembangan kemampuan bagi para karyawannya. Dan ada juga kemungkinan perusahaan untuk mengangkat editor menjadi karyawan tetap tanpa harus mengontrak mereka terlalu lama.

Nah, mengingtat hal ini, di manakah daya tawar editor?

Mengapa editor tidak diberi kesempatan?

Apakah editor harus diam-diam menulis dengan memakai nama orang lain yang sudah bertitel tinggi dan terkenal, kemudian dikirimkan ke penerbit tempatnya bekerja?

Hhh, tentu saja ini nampak jalan yang lumayan, tidak lucu!

 
Thursday, April 12, 2007
posted by catur catriks at 12:31 PM | Permalink
membanggakan diri
pada sebuah pembicaraan lewat internet kadang ditemukan orang yang ujub.
ia ingin menunjukkan bahwa ia lebih mengetahui sesuatunya lbih dari lawan bicaranya.
sehingga yang tampak adalah ia ingin mengatakan segala sesuatu yang ia ketahui.
tapi sayang, maksud ini kadang dipahami sebagai lelucon oleh lawan bicara.

sepertinya kata berikut pantas untuk kita iyakan:

orang pandai mengatakan apa yang ia ketahui
tapi orang bijak mengetahui apa yang ia katakan.


 
Thursday, April 05, 2007
posted by catur catriks at 5:37 PM | Permalink
pzimiz stenzez
dalam rentetan cerita hidup ini, tak selalu tema-nya berpihak kepada kita.
tak ada keharusan bahwa kita kudu menang.
sesekali kita terlempar, sesekali kita dilihat separuh mata oleh orang lain.
sesekali kita menangis, tapi inilah yang membuat cerita ini MENARIK.

sudahlah, relakan apa yang memang tidak seharusnya menjadi milikmu!