Friday, July 27, 2007
posted by catur catriks at 2:43 PM | Permalink
Ikan Lele dan Belut

Belut dan Lele bosan hidup di sungai. Sungai bagi mereka adalah tempat tinggal yang sempit. Air sungai tidak dalam. Airnya selalu bergerak. Mereka harus terus berenang agar tubuh mereka tidak terbawa arus.

Karena bosan dengan tempat hidup yang seperti itu, mereka berniat untuk pindah ke laut. Menurut mereka, laut adalah tempat hidup yang menyenangkan. Airnya tenang, dalam, dan luas. Di sana mereka bebas bergerak ke mana suka.

Maka pada suatu pagi, mereka mengumpulkan para penghuni sungai untuk berpamitan. Ada Gurami, Mujair, Mas, dan lain-lain.

“Kalau kalian memang sudah bertekad untuk pindah, kami tak dapat melarang kalian,” kata Gurami.

“Pergilah, tapi sesekali berkunjunglah ke sini, ke sungai ini. Kami akan merindukan kalian datang bermain bersama kembali dengan kami,” pesan Mujair.

“Berhati-hatilah di laut,” kata Ikan Sepat.

Akhirnya setelah saling bersalaman, Belut dan Lele melesat pergi. Mereka menuju ke bawah mengikuti aliran sungai. Menuju ke hilir sampai akhirnya sungai bermuara pada laut.

Sesampainya di pinggir laut, mereka langsung masuk. Tapi begitu mereka masuk, Lele dan Belut kaget.

“Waduh, teman, kok airnya asin, huek!” kata Bel

“Iya, nggak enak, huk,” jawab Lele.
Mereka muntah beberapa kali.
Pada saat itu tiba-tiba melesat di hadapan mereka ikan raksasa. Seekor ikan besar dengan gigi taring yang tajam. Itulah Hiu. Lele dan Belut lari ketakutan. Mereka lari masuk ke dalam laut.
Tapi semakin masuk ke dalam, air laut semakin asin. Mereka muntah beberapa kali. Badan mereka semakin lemah. Dan di dalam laut itu ia melihat ikan-ikan yang sangat besar yang sangat menakutkan.

Akhirnya Lele dan Belut memutuskan untuk kembali ke sungai. Kembali ke tempat mereka semula.

“Teman, bagaimanapun, rumah kita adalah tempat yang terbaik,” kata Gurami menasihati Lele dan Belut.

Lele dan Belut tertunduk tak menampakkan muka.

 
Tuesday, July 17, 2007
posted by catur catriks at 4:48 PM | Permalink
Hut EsKa

Pengalaman adalah guru terbaik, begitulah kita sering mendengar. Sebegitu berharganya, maka orang yg sadar akan senantiasa belajar darinya.

Tapi belajar bisa didapatkan dari beribu pintu.

Ada orang yang belajar dari kaki yang terjatuh saat melayang dari anak tangga ke anak tangga di atasnya, ada yang belajar dari daun yang perlahan menghijau, ada juga yang belajar dari kijang yang melompat.

Manusia yang pandai akan belajar dari segalanya, sedang orang yang membusung dada tidak akan pernah mau mengambil hikmah dari cerita hidup manusia lain. Ia hanya mau belajar dari pengalamannya sendiri, dan karenanya, ia harus membayar mahal.

Bila pengalaman itu berharga mahal, maka tidak banyak orang yg akan mampu membelinya.

Berbagi adalah salah satu jalan terbaik.

Apakah begitu salah satu tujuan dan realisasi dari milis sekolah kehidupan?
Saya akan mengajukan jawaban, “Ya, memang demikian, sepengetahuanku!”

Saya yakin para member tahu alasan itu, karena memberlah yang telah melakukan dan mendapatkannya, dari pengalaman sendiri maupun dari orang lain yang dibagikan. Ini yang saya maksud bahwa kita bisa mendapatkan pengalaman-pengalaman dengan harga yang murah, tapi otentik.

Bicara harga yang murah, saya sempat – maaf – menghitung-hitung mengenai kegiatan Ultah ke-1 EsKa kemarin. Saya dan anggota milis EsKa yang lain, hanya mengeluarkan uang segitu ribu rupiah, tapi kami mendapatkan sekian banyak keuntungan.

Sewaktu pulang saya sempat berpikir, berapa ongkos yang dikeluarkan oleh owner dan atau penyelenggara untuk mengadakan kegiatan Kopdar itu. Untuk menyewa gedung, operasional, pengisi acara, hadiah, dan lain dan sebagainya, serta seterusnya? Saya yakin Bpk Sinang B. telah berkorban banyak, mensubsidi sekolahnya, agar para siswa bisa membayar dengan harga yang murah atau malah gratis atau gratis sekaligus diberi hadiah? Mmmm .. apa yang bisa kita katakan selain salut dan kata terima kasih?

Saya tak ingin melebih-lebihkan kebaikan karena semuanya terasa sudah sangat lebih. Itu, seorang guru, yang tengah menabur manfaat bagi orang lain. Tentu demikian juga, niat para siswa itu sendiri.

Saya mengikuti beberapa milis, tapi terus terang ada yg lain dari milis sekolah kehidupan. Ada smacam kehangatan dan kekeluargaan yang ditunjukkan oleh para member. Bahkan di satu kesempatan menjelang akhir acara kemarin, Bpk Sinang berjalan ke kursi-kursi peserta dan menyalami mereka sambil menanyakan nama dan asal. Pendekatan personal yang penuh simpati, saya kira. Saya dan mungkin Anda menganggapnya sebagai orang atas, tapi beliau bersedia untuk turun, membuat kita merasa tidak ditepikan. Pun demikian kehangatan yang ditunjukkan satu peserta kepada peserta lain saat berkenalan. (Saya tidak banyak berkenalan karena saya pemalu, he2).

Secara pribadi saya mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Sinang, kepada ketua penyelenggara (Bunda Icha), kpda panitia-panitia lain (maaf tidak disebutkan satu-satu), dan kpd para mmber tentunya.

Tiada harapan lain kecuali mempertahankan dan meningkatkan.
Semoga kita bisa lebih bermanfaat.
Gandeng tangan saling menguatkan.

(Maaf bila ada kebodohan yang terkatakan.)


Berikut gambar-gambar saat Kopdar III dan Ultah Eska ke I

Keluarga Besar EsKa
(Saya nyempil di samping kiri pk Alvis C.)


Bunda Icha, Taufik Ismail, Ditjend dik Lub, Alvis Chaniago, Kepsek Sinang B., Andreas Harefa, dan Penerbit

CaturCatriks, Dani, Ichenk, Taufik, Helmi Yahya, Suami Ichenk

depan: Taufik, dedew, dani/belakang: indarpati, ee. siapa ya?, lia, asma


sksd, sok kenal sok dekat ma Pk. Taufik Ismail

me .. ramai
 
Thursday, July 12, 2007
posted by catur catriks at 6:49 PM | Permalink
Membicarakan (lagi) Jodoh

Hanya ingin membicarakan obrolan ringan, mengingat akhir-akhir ini banyak teman yang menikah, teringat juga usia saya yang tidak lagi belia. Waktunya untuk memikirkan jodoh, mengikat diri dalam mitsaqon gholidza.

Sebenarnya bukan kali pertama hati terusik oleh keadaan, sebelumnyapun saya pernah mencoba untk mendapatkan, tapi jalan menuju ke sana sempat terpentok. Akhirnya jalan itu dilewati oleh orang yang lebih siap.

Perbincangan masalah jodoh seringkali kita temukan di beberapa tempat, seperti di milis-milis, mengingat masalah tersebut merupakan salah satu fase dalam kehidupan manusia, sangat penting dan dekat. Apalagi bila dikaitkan dengah cinta, takdir (fitrah manusia), dan keinginan untuk membangun keluarga samara. Maka ini tak akan pernah habis dibicarakan (ditulis). Seperti tinta yang terbuat dari samudera.

Bagi yang belum menikah dan sedang mengejar atau menunggu jodoh, apa yang Anda pikirkan mengenai hal tersebut? Saya sengaja menggunakan kata menunggu atau mengejar karena ada wanita dan laki-laki. Laki-laki cenderung untuk mencari. Ia lebih aktif. Sedangkan wanita cenderung lebih pasif (menunggu). Walau pada kenyataannya hal ini bisa terbalik atau bercampur antara menunggu sekaligus mencari.

Ya, apa yang Anda pikirkan mengenai hal tersebut?

Saya sendiri merasa sulit untuk mendefinisikan atau mengungkapkan dengan tepat apa yang ada dalam hati dan kepala. Terlalu ruwet walau mungkin sebenarnya sederhana. Atau mungkin sederhana tapi saya tidak ingin menggampangkan.

Sebagai seorang yang beragama, tentu saya ingin mendapatkan jodoh dengan diawali niat yang lurus, cara yang benar, tujuan yang diridhai Tuhan, dan mensegerakan.

Semua orang pasti menginginkan hal ini. Hanya pada kenyataannya banyak hal yang kadang sedikit banyak menyimpang.

Mendapatkan pasangan yang sekufu (layak dan serasi) pun merupakan satu impian. Karena keseimbangan sangat diperlukan saat pasangan tengah mengarungi samudera berombak. Lebih jauh, sebagai seorang yang beragama, kehidupan keluarga hendaknya dipenuhi dengan berkah yang selalu tumbuh dan berkembang (an nama’ waz ziyadah). Adanya sikap saling mempercayai terhadap pasangan dan sama-sama mempunyai keinginan untuk menjadikan keluarga sebagai pilar utama tarbiyah dan dakwah bagi para anggotanya.

Untuk hal ini kadang ada yang mengatakan bahwa sebelum memutuskan untuk menikah, perlu dikomunikasikan terlebih dahulu terhadap masing-masing calon pasangan. Tentu komunikasi tidak terbatas pada kata “setuju” atau kata “agak keberatan”. Salah satu tujuannya mungkin agar ke depannya tidak ada masalah yang bisa mengakibatkan rusaknya (hancur) hubungan antar pasangan. Untuk hal ini, peran laki-laki sebagai qowwam (pemimpin) sangat perlu untuk dikualitaskan.

Sebagai anak manusia dengan segala kebutuhan hidup, kadang juga saya berkeinginan bahwa pasangan kelak bersedia dengan ridha dan lega atas nafkah materi yang saya berikan. Ini mengingat penghasilan saya yang masih belum bisa dibilang meyakinkan (hmm …tentu sudah sangat banyak yang melakukan hal ini, ya?). Lebih jauh adalah pasangan yang mampu menunjang kesejahteraan keluarga. Memang ekonomi tidak berarti segalanya, tapi akui saja, kita smua tidak mau menghidupi keturunan dengan kekurangan, bukan? Bahkan Islam pun mengajarkn pemeluknya untuk hidup kaya. Tentu bukan kelebihan yang hanya dikukuhi sendiri. Tapi kekayaan yang sekaligus bermanfaaat bagi kemaslahatan umat.

Yang terakhir, sebagai anak manusia yang mempunyai keinginan dan keterbatasan, prinsip idealisme kadang saling tarik ulur dengan efektivitas hidup. Saya atau mungkin Anda pasti ingin mendapatkan pasangan yang cantik, dari keturunan baik-baik, kaya, dan shalihah (begitu juga dgn pihak wanita). Duuhh …siapa yang tidak mau? Tapi kadang diri ini berkaca, pantaskah aku mendapatkan orang yang seperti itu? Sudah cukupkah saya untuk dinilai sebagai anak yang ganteng, shalih, dan kaya? Hehe, kadang saya menertawakan diri sendiri dan merasa malu bila menemukan jawabannya dan kemudian membandingkan dengan keinginan di kepala. Begitu banyak kekurangan menempel pada diri saya. Pada saat itulah biasanya saya turun kembali pada wilayah realita. Saya sadar, seperti disebutkan di awal, mencari pasangan yang sekufu adalah hal yang lebih masuk akal.

Lalu bagaimana langkah untuk menemukannya? Apakah kita harus memilih-milih dengan cara berpetualang? Kita memang diberi hak oleh Tuhan untuk berikhtiar, tapi bagaimanakah ikhtiar yang benar? Tentu kita bisa mengajukan jawabannya dengan pemahaman dan alasan masing-masing.

Ketika saya mendikusikan masalah jodoh dengan orang yang saya percaya, beliau menyarankan agar saya menurunkan kriteria dalam mencari jodoh atau jangan terlalu banyak syarat. Salah satu tujuannya adalah agar saya tidak kufur nikmat, agar saya tidak egois. Aku mengerti dan berusaha. Tapi bukan berarti aku bersedia menikahi orang secara asal. Jodoh adalah urusan dunia akhirat.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengatakan kepada diri dan teman-teman yang belum menikah, laa takhaaf, janganlah takut untuk terus berusaha mencari jodoh apabila kita telah siap untuk menempuhnya. Jangan takut untuk mensegerakan. Menikah adalah ibadah.

Memang jodoh adalah sebuah rahasia. Ada yang telah berpacaran selama bertahun-tahun tapi kemudian putus begitu saja. Ada yang melaui jalur ta’aruf kemudian menikah beberapa bulan kemudian. Ada yang mencari dan menemukan, tapi yang ditemukan tidak suka dengan yang mnemukan. Ada yang datang tapi ditolak. Ada yang menunggu bertahun-tahun tapi tak kunjung juga yang datang. Ada yang begitu jauh, ada yang begitu dekat.

Hehh … sangat rahasia.

Sekarang apa yang sedang Anda pikirkan?

Kita harus ingat, tak ada hidup membujang bagi kita (laki-laki) yang telah siap untuk menikah.

Mari jadikan ini sebagai sebuah rencana besar, bagian dari satu ibadah, menyempurnakan separuh dien.

Salah satu janji Alloh adalah memudahkan jalan bagi umatnya yang akan menikah.

 
Thursday, July 05, 2007
posted by catur catriks at 3:02 PM | Permalink
Jing Ganjing-Gonjang

Seperti yg kita tahu, setiap orang, setiap waktu, masalah selalu ada. Kadang ia menanjak seperti riak menjelma gelombang. Tapi apabila tangan ikhtiar kita bisa tergenggam lebih kuat, tak ada masalah yang tak teratasi.


Kaki kananku terkilir. Burung yang kusangkarkan di teras rumah, berontak.
Sayapnya kehilangan banyak bulu. Ia ingin lepas.

Mataku menangkap sekelebat anak kucing melintas lari, dari utara menuju semak. Anjing kampung juga melesat ke arah yang sama.
Anjing itu lapar, aku tahu.

Terdengar gaduh istri tetangga memaki anak yg bebal.

Aku bangkit, tapi nyeri melemahkan gerak kaki. Dengan bantuan tiang teras yang di atasnya tergantung sangkar burung, aku berdiri.

Sebelum kugapai, burung itu kembali berontak. Tapi kemudian sunyi, hanya sangkarnya yang bergoyang semakin pelan. Saat kuturunkan, ia telah rebah di dasar sangkar.

Burung kesayangan yang menghias salah satu sudut hati, pergi. Nyawanya telah mendesak jasad.

Ini hari minggu.

Di minggu yang sama, sehari sebelumnya, istri lari bersama seorang pengemudi dengan satu alasan, “Jumlah yang dijadikan pegangan tak sebanyak yang ia inginkan.”

Kini istri menari di ujung mata.

Lalu terpegang pelecut tembak dengan peluru yang telah lama tersimpan.
Akan kuikuti jejak kaki yang menjauh.
Burung di teras rumah yang mati harus diikuti oleh kematian lain, kematian seorang yang pernah menghuni rumah ini.

Hati terbakar memanaskan darah.


Seperti yg kita tahu, setiap orang, setiap waktu, masalah selalu ada. Kadang ia menanjak seperti riak menjelma gelombang. Tapi apabila tangan ikhtiar kita bisa tergenggam lebih kuat, tak ada masalah yang tak teratasi.