Tuesday, February 26, 2008
posted by catur catriks at 1:45 PM | Permalink
Tidak Semua Serigala itu Jahat
Angin sore bertiup kencang
Di pinggir hutan, ada seekor Ibu Rusa dengan anaknya.
Mereka berjalan sambil sesekali meloncat lincah
Ibu dan anak berkeliling mencari makan.

Tiba-tiba ada suara, ”Tolong, toloong!”
Anak Rusa bertanya, ”Suara apa itu, Ibu?”

Ibu Rusa segera mencari arah datangnya suara
Ternyata ada Anak Serigala tertimpa pohon yang tumbang
Nafas Anak Serigala itu terengah-engah

Ibu Rusa merasa kasihan
Ia segera menggeser pohon yang menindih Anak Serigala

“Keluarlah, Serigala!” Suruh Ibu Rusa
Setelah terbebas dari himpitan pohon, Anak Serigala mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Anak Serigala kemudian mengajak Ibu Rusa dan anaknya masuk hutan
Anak Serigala menunjukkan pohon apel yang berbuah lebat.

“Makanlah buah apel ini sepuas kalian!” kata Anak Serigala

Ibu dan Anak Rusa makan apel dengan lahap
“Ternyata, tidak semua serigala itu jahat ya, Bu,” kata Anak Rusa.


Pelajaran:

Terkadang, teman yang tidak kita sukai itu layak untuk kita benci, karena suatu saat, bisa saja mereka berjasa dengan ikut membantu kesulitan kita.

Bisakah kita menyukai semua teman kita dengan sifat-sifatnya?
Apa yang ada, apa adanya?



 
Friday, February 22, 2008
posted by catur catriks at 4:47 PM | Permalink
Di Awal Waktu

Pembicaraan terjadi antara saya dan seorang teman sambil berselonjor kaki, bersandar pada dinding masjid. Kaki kami hampir sama panjang, hanya saja kakiku terlihat kempes sedang kakinya jauh lebih gembung. Tanpa tahu dari mana dia berpikir, tiba-tiba saja dia menyarankan agar aku ambil cicilan motor. Katanya, dengan motor, kakiku yang lurus tapi agak pengkor (hehe, bener gak ya?) bisa menjadi kaki yang bulat dan berjeruji, yang dengan mudah bisa menggelinding ke mana-mana. Artinya, aku bisa lebih gampang dalam mobilitas atau lebih irit daripada harus naik angkot.

Pembicaraan tidak berlanjut, karena khatib telah naik mimbar untuk khotbah jumat

Sempat mengerutkan kening, mungkin dia baru saja mendapat wangsit di hari jumat, siang (tapi wangsit jenis apa, ya?).

Ada satu hal yang patut jadi bahan renungan, ketika dia bilang tentang waktu sekarang dan nanti.

“Dulu ketika aku ambil motor, cicilannya terasa begitu berat. Sekarang ketika aku mau ambil lagi, besar cicilanya pun masih terasa berat karena ternyata sudah naik. apalagi bila mengingat kebutuhan sekarang. Beruntung, dulu saya sudah mengambilnya dan sekarang sudah lunas. Begitu Pak Catur, kadang dengan menunda waktu, sesuatu yang kita harapkan belum tentu menjadi lebih ringan.”

Jadi ingat dengan perumpamaan yg pernah saya temukan berikut yang saya rasa masih berkait:

Ketika muda, petani ingin membeli dua ekor sapi untuk keperluan pertaniannya. Ia belum membelinya karena harga saat itu dianggap terlalu mahal. Ketika tua, ia tak juga mampu membeli sapi karena ia keburu terkena stroke dan kebutuhan-kebutuhan keluarganya. Akhirnya, petani tidak pernah mendapatkan impiannya.

Mungkin banyak benarnya. Saya dan tentu banyak orang sering merasakan ini. Bahwa karena kita merasa berat hari ini, maka kita akan menundanya dan berniat untuk melakukan/menyelesaikan di kemudian hari dengan asumsi nanti kita telah lebih siap dan memandang sesuatu itu menjadi lebih ringan. Namun saya, atau banyak orang yang kemudian tertipu. Ternyata sesuatu itu justru bertambah berat atau tidak menjadi ringan. Dengan menundanya, tidak selalu menjadikan kita merasa lebih siap.

Contoh ringan, membaca buku yang diinginkan misalnya. Saya pinjam buku kepada teman, yang menurut saya, saya perlu untuk mengetahui isi buku itu. Dengan alasan capek dan tidak sempat, saya tidak juga membaca. Sampai akhirnya buku itu diminta kembali oleh si pemiliknya (duh!)

Untuk mendapatkan sesuatu, misalnya rumah (ini hanya contoh dari salah satu kasus yang kebetulan saya amati, di daerah Ciawi, Bogor).

Hanya selang kurang lebih 3 – 4 bulan, kredit kepemilikan rumah (KPR) untuk tipe 21, naik dengan sekonyong-konyong.

- Bulan Nov 2007 utk memiliki rumah tipe 21, orang harus mengeluarkan uang muka 3 juta dan cicilan sebesar Rp.523 000 selama 10 tahun.

- Kemudian di bulan Februari 2008, uang muka menjadi 6 juta 750 ribu rupiah dan cicilan sebesar 564 000 selama 10 tahun. Hanya selang 3 bulan.

Bagi sebagian orang, dua penawaran ini sama-sama berat, tapi akan lebih beruntung orang yang mengambilnya di awal waktu, bukan?

Sering kita rasakan berat untuk mengambil sikap, menegaskan keputusan, menyelesaikan pekerjaan, untuk mendapatkan keinginan, memulai hal baru, mengakhiri, dan begitu banyak hal lain. Dan untuk beberapa hal, kita menundanya di belakang waktu, dengan harapan di waktu itu, sesuatu yang kita tunda akan lebih ringan. Dan untuk beberapa hal pula, kita sering tersadar dan kaget karena keadaannya masih tetap sama.

Men-segera-kan (dan bukan berarti tergesa-gesa) untuk memulai di awal waktu terhadap hal-hal yang kita butuhkan, mungkin akan lebih baik daripada kita menundanya. Karena boleh jadi, dengan menunda, kita malah akan membayar dengan pengorbanan yang jauh lebih mahal, semahal waktu yang terlewat.

Ya, ini hanya sedikit pengembangan dari pembicaraan dengan teman kemarin. Tentu berlaku pengecualian di sini dan alasan-alasan lain. Apalagi bila ditakar dengan kadar kemampuan dan asas proporsionalitas (duh, bahasanya!)

Dengan lebih bermaksud ditujukan untuk diri sendiri, smoga kita lebih berani (karena saya sering takut) untuk memulai sesuatu di awal waktu.***

 
Monday, February 11, 2008
posted by catur catriks at 5:31 PM | Permalink
Pasti Bisa Terkuasai
Dengan bermaksud mengingat
Ketika terlepas dari pegangan orang tua
Kita seperti daun yang terlepas dari pohon, jatuh
Melayang dan meliuk
Memulai perjalanan

Mirip dengan anggapan para seniman
Daun yang lepas memiliki irama
Sedang irama dianggap hidup

Di sekitar daun yang lepas ada deretan pohon yang bisa menyangkut tubuhnya
Ada juga permukaan tanah yang akan menampung ketika ia jatuh
Yang akan menumbuhkan tunas baru
Untuk kemudian menjadi pohon yang berdaun-daun
Seperti leluhurnya

Tapi di antara keduanya ada udara yang bergerak
Dengan menawarkan begitu banyak permainan

Ketika angin menawarkan permainan “bertiup kencang”
Maka daun akan mengembara ke banyak tempat
Terbang berguling-guling ke banyak peristiwa
Membawa ke tempat jauh yang sebelumnya tak terpikirkan

Tapi harus dinikmati, karena permainan itu akan menjadikan kita punya banyak pengalaman dan kedewasaan
Walaupun terkadang harus merasa terasing

Ketika angin menawarkan permainan “bertiup berkala”
Maka daun sesekali tergeletak di tanah
Kemudian tertiup terbang kembali ke jarak yang jauh, menyangkut di tiang besi
Tertiup lagi
Dan tertiup

Tentu permainan tidak salah, karena ia ingin mengajarkan tentang warna-warna perputaran peristiwa
Walaupun harus merasa lelah berkali-kali

Dan ada saatnya juga angin menawarkan permainan “pengaruh musim”
Maka ia akan membawa daun seperti orang bermalas-malasan dan kadang juga seperti orang yang sedang mengamuk
Ada kalanya ingin berlari cepat, tapi tak ada angin sebagai kendaraan
Ada kalanya telah merasa nyaman tinggal, tapi tiba-tiba udara bertiup sedemikian kencang membawamu ke tempat baru
Atau entah ke mana

Tentu tidak ada yang salah dengan hal ini
Karena ia bermaksud mengajarkan bahwa peristiwa yang terjadi tidak selalu harus sesuai dengan keinginan
Malah terkadang tanpa tersadari
Ia menunjukkan sesuatu yang kita butuhkan

Tapi bagaimanapun, waktu dan peristiwa menyebabkan daun menjadi kering dan keropos
Bagian tubuhnya akan terlepas-lepas dan busuk
Waktu menyilet tubuh
Peristiwa mengikis tulang-tulang

Pada saat itu daun tidak lagi mengandalkan "kenampakkannya"
Ia mengandalkan ruh-nya yg telah tertempa
Ruhiyah yang telah arif
Di mana angin tidak kuasa lagi untuk menerbangkan, mempermainkannya

Dan berarti sebuah irama telah terkuasai