Friday, December 28, 2007
posted by catur catriks at 11:26 AM | Permalink
sekilas saja
Tahun ini, adalah tahun yang cukup ramai, menurutku
Tahun di mana saya mengalami goncangan emosional selama berbulan-bulan, di awal tahun dan meninggalkan efek tersendiri.

Tahun ini, adalah tahun yang cukup kocak di mana beberapa orang terdekat memperingatkanku dengan nasihat, dengan dukungan, dan atau elusan dada,
dan di antaranya tidak aku pedulikan.

Tahun ini, adalah tahun yang cukup menantang di mana aku berani mengambil sdikit beban

Tahun ini, adalah tahun yang diisi dengan kenyataan:
Saya berharap agar .. ..
Saya terpuruk kemudian .. ..
Seharusnya aku .. ..
Aku tak mau .. ..
Boleh .. akan saya ambil .. ..
Aku semakin merasa .. ..

Tahun depan, saya yakin, kehidupanku akan lebih menarik.
 
posted by catur catriks at 11:10 AM | Permalink
perjalanan

Lelaki masih melangkah menyusuri pinggiran kota. Sandal yang dipakainya semakin tipis dan kian terasa apabila menginjak kerikil. Malam telah cukup pekat. Dingin dengan bebas menembus badannya yang berkaos oblong dan bertopi. Tapi si Lelaki tak menghiraukan. Sesekali ia menggeser letak topi di kepalanya. Kendaraan hanya satu dua. Tapi tetap saja ada yang lewat. Truk, sepeda motor, atau mobil sedan.

Lelaki berusia tiga puluhan ini melewati muka-muka gang. Sebenarnya malam tak sepi. Di setiap muka gang, ia selalu berpapasan dengan manusia. Para wanita yang berpakaian ketat berdiri sambil bersidekap. Sesekali mereka melambaikan tangan pada kendaraan yang lewat di depan mereka. Melambai dengan isyarat mengharap dan ucapan: silakan istirahat dulu.

Si Lelaki kadang menyapa dan berlalu untuk terus berjalan. “Malam-malam begini, seharusnya mereka tidur di rumah,” bisik Lelaki.

Sebuah lampu jalan menyala redup pada tiang yang tinggi dan berkarat. Kaca lampunya telah berlumut. Di bawah pangkal tiang lampu, bersandar seorang wanita muda. Sambil berniat untuk beristirahat, ia hentikan langkahnya. Semerbak wangi menyebar. Sepertinya dari tubuh perempuan ini, Lelaki mengira.

“Sedang mencari?” kata si Perempuan pada Lelaki mendahului sapaan. Si Lelaki nampak heran karena ia merasa si perempuan mengetahui kalau dia memang sedang mencari.

“Ya, dan tak juga kudapatkan. Apa kau punya berita, ada pemborong proyek yang membutuhkan tenaga? Atau seorang pengelola bangunan yang sedang membutuhkan tukang pemelihara gedung? Aku ingin cepat-cepat bisa kerja.” Kata si Lelaki mengutarakan maksud. Mendengar ini, si Perempuan nampak kecewa, lalu diam. Beberapa saat kemudian matanya telah mengawasi jalan dan sesekali melambaikan tangan pada pengendara yang lewat.

Si Lelaki paham, perempuan di hadapannya tak akan memberikan jawaban seperti yang ia harap. Sama seperti orang-orang yang sudah ditemuinya semenjak tadi siang, sejak kemarin, dan kemarin lagi. Mereka menggeleng, menjawab dengan kata tidak tahu. Seperti juga malam ini, perempuan tersebut tak akan memberikan jawaban. Membuang muka ke arah jalan sudah merupakan tanda pengusiran yang begitu tegas.

“Apa yang kau tunggu dari para pengendara yang lewat itu? Malam begini, seharusnya kau ada di rumah,” kata si Lelaki bernada anjuran. Si perempuan menghela nafas,

“Jangan bicara aneh Bapak. Semua orang punya roda. Roda orang-orang berputar pada siang hari dan aku tak mendapatkan tempat. Tapi rodaku harus berputar. Malamlah waktuku untuk memutarnya agar aku tetap bisa bertahan hidup.”

Diam, ada sebuah jeda yang membuat di antara mereka kaku.

Si Lelaki heran mengapa orang di hadapannya bisa bicara seperti seorang bijak.

“Apa malam begini, rodamu bisa berputar lebih cepat?”

“Kalau tak punya uang, pergi saja!” kata si perempuan pada si Lelaki. Ya, dan dia pun bisa sadis.

Si Lelaki paham, si perempuan membutuhkan transaksi. “Hehh … memutarkan roda. Setiap wanita malam mempunyai alasanya masing-masing,” gumam si Lelaki sambil melangkah berlalu. Melangkah walau tanpa jelas ke mana tempat hendak dituju.

Malam semakin meninggi. Gelapnya semakin pekat. Langkahnya tak setegap tadi siang atau tadi sore. Punggung mencondong ke depan dan lututnya sesekali bergoyang saat dilangkahkan. Tenaganya telah jauh berkurang. Rasa lapar ia tahan dengan mengencangkan ikat pinggang.

Si Lelaki menemukan sebuah pertigaan dan pada satu sudut bertengger tiga becak berjejer berdekatan. Ia ingin beristirahat dengan duduk di kursi salah satu becak itu. Tapi setelah dekat, Lelaki tahu, di setiap kursi becak meringkuk tubuh-tubuh pemiliknya. Mereka meringkuk agar kursi yang sempit itu bisa menopang tubuh. Meringkuk untuk menahan hawa dingin yang menusuk seperti malam ini.

Meringkuk, yah, di manakah aku akan tidur? Apakah aku harus mneghabiskan malam ini dengan terus berjalan? Pertanyaan ini mengusiknya. Adalah rasa capek yang luar biasa dan lapar yang semakin menggerus perut, membuatnya sedikit bimbang. Ia sadar, ia mempunyai tenaga yang terbatas. Tapi ia tak ingin menjadi lelaki yang lemah. Sesuatu di dalam hatinya menyuruhnya untuk tetap bejalan.

Maka ia pun kembali mengayunkan kaki yang telah jauh melemah. Persendiannya terasa pegal.

Tak ia temukan lagi wanita-wanita yang berdiri di muka gang. Karena jalan yang ia lalui kini jalan yang sepi dan jalan yang lurus jauh dari pemukiman atau gedung-gedung tua. Nampaknya perjalanan yang akan ia lalui sekarang semakin panjang. “Berilah aku kekuatan,” bisiknya di kedalaman hati yang ditujukan untuk Tuhan. Sementara pikirannya melesat jauh dari tempat itu. Jauh ke tempat di mana orang-orang yang dicintainya berada. Orang yang selalu dekat di dada. Itulah yang menjadi alasan. Dengan niat untuk merekalah si Lelaki rela melakukan perjalanan ini.

Pikirnya melayang. Rasanya seperti baru tadi sore ia berpamitan dengan istri dan anak. Ciuman anaknya masih terasa di pungung tangan. Dan ia masih ingat tatap mata istri yang penuh harap. Harap yang begitu besar.

“Semoga Abang cepat dapat kerja.”

“Nanti bawa oleh-oleh ya, Yah. Boneka! Hehe,” kata anaknya.

Si istri segera menggamit tangan buah hati dan membopongnya.

“Ayo cium tangan Ayah,” perintah Istri.

Langit kelam, bahkan setitik terang bintang tak terlihat. Sekelam nasib si Lelaki kini. Sejalan malam yang meninggi.

Hampir di ujung malam, Lelaki sampai pada sebuah tempat cukup lapang dengan jalan yang bercabang-cabang. Seperti muka sebuah pasar. Di sepanjang pinggir ada lapak-lapak tempat menjual. Lapak-lapak yang hanya terbuat dari kayu-kayu dan atap dari tenda-tenda plastik.

Si Lelaki memandang menyapu. Mungkin di tempat inilah besok ia bisa mencari kerja lebih mudah.

Matanya menangkap sesuatu yang bergerak. Ia mendekat. Ternyata seorang ibu yang baru saja merapatkan kain jaritnya kepada tubuh kecil yang terbaring bersamanya. Ia sendiri berbaring hanya berbantal sebelah lengan. Si Ibu terbangun dan segera duduk ketika tahu ada lelaki yang mendekat.

“Apakah hampir siang? Rasanya baru sekejap aku terpejam,” tanya si Ibu kepada si Lelaki seolah dianggapnya orang yang sudah mengenal.

“Tidak tahu Ibu. Sepertinya sekarang aku sudah tak mengenal waktu,” jawab si Lelaki.

“Oh …,” singkat, si Ibu langsung tahu kalau orang di depannya bukan orang sekitar pasar atau yang sering datang ke pasar itu.

“Itu anak Ibu?” si Lelaki menunjuk pada sosok kecil yang meringkuk di samping si Ibu, di atas lapak-lapak kayu.

“Iya, satu-satunya. Baru tujuh tahun.”

“Mengapa Ibu tidur di sini?” tanya si Lelaki sambil berjongkok.

Si Ibu menatap si Lelaki, tapi kemudian ia berkata, “Setiap hari aku menunggu mobil yang membawa sayur, menjelang subuh. Untuk mendapatkan sayur aku harus berebut, tapi para tengkulak selalu lebih menguasai. Aku hanya kebagian sayur yang jelek-jelek. Aku membelinya untuk dijual kembali. Tidak seberapa. Jika tidak ditunggui, aku takkan kebagian. Semua akan diborong sama para tengkulak.”

Si lelaki manggut-manggut seakan mencoba mengerti, walau mungkin sebenarnya, tidak. Kemudian matanya tertuju pada tubuh mungil yang tebaring.

“Sepertinya anak Ibu kedinginan.”

“Tidak. Ia sudah terbiasa, seperti ibunya.”

“Oh ….”

“Sudah dari bayi,” lanjut si Ibu.

“Apa dia sekolah?”

Mata Ibu menerawang, “Ya,” desahnya kemudian tanpa tekanan.

“Syukurlah. Sekarang banyak sekolah negeri yang biayanya murah,” kata si Lelaki. “Sekolah di mana?

“Terminal,” si Ibu menelen ludah, “dan di pasar. Kadang aku takut. Jika ia besar nanti, ia akan menjadi anak yang bermata liar.”

Pandangan si Lelaki jatuh ke bawah. Ia tak tega lagi menatap wajah Ibu. Wajah yang mengguratkan penderitaan hidup. Wajah dengan mata yang mulai berkilat, basah dengan air.

Si Lelaki tak tega untuk menanyakan ke mana Ayahnya. Ia tak ingin membuka kesedihan si Ibu lebih jauh.

Dalam waktu yang sama, si Lelaki teringat istri dan anaknya yang ia tinggalkan di rumah. Kepalanya mendadak terasa bergoyang. Ada darah yang mengalir cepat menuju otak. Matanya berkunang-kunang. Ia berusaha untuk bangkit, tapi malah kemudian si Lelaki terjatuh. Terkapar pingsan tepat di depan si Ibu.

Deru suara truk terdengar mendekat. Si Ibu hafal, suara mobil itulah yang biasanya membawa sayur.

Bergegas ia bangkit dan berlari.
Tubuh si Lelaki yang terkapar di depannya, hampir saja terinjak.

NB: Teringat suatu malam melihat suami istri (?) yang dekil meringkuk di halaman sebuah masjid pasar.

 
Thursday, December 13, 2007
posted by catur catriks at 5:50 PM | Permalink
bedroom

 
Tuesday, December 11, 2007
posted by catur catriks at 12:05 PM | Permalink
mie bangka
Pagi2 mendapat email yg cukup menyenangkan
Setidaknya dapat membuat sdikit kerjaku bergairah

Undangan dari teman2 di sebuah rumah makan Mie Bangka
Yup, Mie!
Dalam rangka apa ya?

Hmm, tapi tak ada semut yang tak bersungut? Eh bener gak ya?
Baru teringat klo minggu depan organisasi akan mengadakan dua acara
Salah satunya baksos.

Ok, siap makan, siap ditodong!

 
Wednesday, December 05, 2007
posted by catur catriks at 10:09 AM | Permalink
!

Aku mengintaimu setajam elang
Yang slalu sigap menangkap, betapa sedikitpun gerakmu
Tak ada yang luput, walau hanya bergeser nol koma mili
Bahkan sebatang rumput yang menggesek sisi kulitmu jelas terlihat olehku
Dan mengira berapa besar gaya tekanannya


Aku siap memasang perangkap suara sejeli kelelawar
Tak ada yang lewat tanpa kudengar walau hanya bisik yang halus
Ketika kau diam, nafas dan getar dadamu menggema di telinga, sebuah irama yang kadang kupahami sebagai keraguan, kecemasan, takut


Aku akan mengendus aromamu setepat anjing pelacak
Di manapun kau berada dan sembunyikan pesona, kau akan tetap kutemukan
Pergilah ke jauh bila kau berhendak
Jejakmu akan tetap tertinggal untuk kemudian kujadikan sebuah peta yang secara akurat mengabarkan kau berada di titik koordinat mana


Aku ingin melakukan secara sempurna
Sehinga aku bisa mengenal secara tajam, menyeluruh
Begitu detil, begitu intim


Tapi tiba-tiba saja kepalaku terpentok ranting hutan yang rendah
Kemudian banyak yang mengatakan, tidak ada kewajiban bahwa semua keinginan harus tercapai
Kita boleh saja mengayun kaki, hanya perlu diketahui begitu banyak orang yang bisa berlari melebihi kecepatan lari kita.
Kita akan sering melihat pesona di depan mata dan secara bersamaan membiarkannya berlari menjauh untuk kemudian tak terlihat sama sekali.


Pun sekarang ini
Suaramu sama sekali tak terlacak
Aku tak bisa menyaring dalam usaha menyadapnya
Karena begitu gaduh
Suara-suara berebutan, berdesakan masuk ke gendang telinga
Gaduh, gaduh sekali di sini


Mataku juga tak berfungsi seperti yang diharap
Aku tak bisa melihatmu ada di mana
Begitu banyak hal
Berjubel-jubel seakan di depanku adalah dunia tumpukan
Dan aneka aroma menyumbat hidung sehingga penciumanku mandul
Aneka aroma yang menggunung barang


Baiklah, aku akan menamakanmu sebagai misteri
Dan diriku adalah rencana tak tersusun
Tapi aku ingin mengajakmu untuk menyadari
Bahwa kita sebenarnya ada
Kau dan aku ada
Dan sesuatu akan terjadi
Tanpa peduli, sesuai atau tidak dengan keinginan yang diterbangkan

 
Saturday, December 01, 2007
posted by catur catriks at 12:41 PM | Permalink
2 peristiwa
hampir beruntun, 2 peristiwa berikut terjadi

yang pertama, pagi saat aku berangkat ke kantor.
di depan gerbang, dua motor bersenggolan
antara karyawan perusahaan dan pemuda (salah satu masyarakat sekitar)

masing2 menghentikan motornya.
aku kira tidak akan apa2, karena itu bukan sebuah kelalaian salah satu pihak
tapi karena jalan yang sempit dan banyaknya para karywan yang akan masuk
dgn kendaraan2 di situ.
kejadiaannya pun tidak menimbulkan kerusakan

hanya saja aku terkaget manakala mata mereka saling memandang
aku melihat masing2 mata keduanya seperti akan keluar dari tempatnya.
saling melotot dengan dagu yang mengeras.

mungkin keduanya adalah orang2 jagoan
ingin mengatakan bahwa aku benar dan kau teledor, pantas dipukul
muka keduanya makin memerah
ketegangan tersebut langsung menjadi ketegangan kami2 yang melihat kejadian tersebut.
beruntung satpam yang menjaga di sana langsung melerai
mempersilakan karywan utk masuk dan meminta pemuda itu utk meneruskan perjalanannya.

ada seseorang di sampingku yang berbisik: sama-sama miring!
tidak apa2, saya kira, mungkin mereka ingin membuktikan bahwa mereka gentle

peristiwa kedua terjadi di kantor.
yang ini aku sendiri yang mengalami.

karena ada sebuah kepentingan, maka kuputuskan untuk kerja setengah hri
aku akan meminta izin, setelah jam istirahat, aku pulang

untuk mendapat ijin, aku harus melewati tiga orang demi dimintai tanda tangannya.
orang pertama ok, sangat pengertian.
yang kedua pun ok, malah ia menandatangani dengan meledek saya dan tertawa2.

yang terakhir, yang ketiga
yg terakhir inilah biasanya temen2 merasa illfeel terlebih dahulu bila berurusan dengannya.
aku pun biasanya demikian bila bertmu.

tapi waktu itu tidak.
saya masih berpikiran positif mengingat saya jarang izin dan izin kali inipun karena kepentingan yang benar2 penting.

kuawali dengan mengetuk pintu ruangannya.
kuawali dengan senyum waktu menyapanya.
kuhaluskan suaraku agar tidak menyentak.
(saya sedikit berpikir, kok aku kayak pengemis saja ya?)

ia tak menoleh dari layar komputernya
ia tak membalas sapaanku
ia tak melihat wajahku dan alasan mengapa aku izin saat menandatangani.

well,
aku ucapkan terima kasih
aku dengar ia berdehem saat aku menutup pintu dari luar.

tidak apa2
mungkin itulah cara yang diambil olehnya untuk mempertahankan wibawanya.
den gan begitu, mungkin ia ingin menunjukkan bahwa harga diorinya (derajatnya) lebih tinggi daripada saya yang masih jadi karyawan biasa.
orang mempunyai cara-caranya masing2 dalam merespon suatu hal.

tapi, entah mengapa, kadang2 saya memahami bahwa mereka, pelaku2 peristiwa di atas, tidak sedang memperlihatkan harga dirinya, ke-gentle-annya, wibawanya dan semacam itu
tapi aku memahami kalau mereka sedang menunjukkan kebodohannya.
yang dengan secara sukarela mencoreng muka dengan perbuatannya sendiri.

tapi, semoga anggapanku tak selamanya benar
sehingga mungkin aku masih bisa melakukan pembelaan ketika suatu saat aku menjadi pelakunya.

begitukah?