Wednesday, June 21, 2006
posted by catur catriks at 7:32 PM | Permalink
bertamu
jalan-jalan ke blog orang lain sangat menyenangkan. bertamu ke harian itu dan ini, wah ramai. menemukan berbagai ragam penuturan yang umumnya lebih menarik dari cara bertuturku. dan yang sering bikin aku ngiler adalah isi blog yang settingannya kayak web. kok mereka pada pinter2 ya? lha aku? alah, ben! jalan terusss
 
Tuesday, June 20, 2006
posted by catur catriks at 6:48 PM | Permalink
romantisme masa lalu
kau merindukannya?
ya, setiap hari.

bintang-bintang pada malamnya
aroma bukit sebelum pagi
dengan perapian dari getah damar
di tengah, kawan saling merapat
karena ada dingin

saat itu biasanya kulihat diriku yang riang
saat itu, kadang tak kubiarkan mata terkejap sedetik pun
sampai bergantinya malam
kadang-kadang juga kulihat
serangga malam yang terbang dan menyasar
ke atas perapian memburu terang
serangga mati tak kuat menahan panas

seseorang tahu, saat itu adalah
waktu yang paling baik untuk dirindukan
di masa yang akan datang.
 
Monday, June 19, 2006
posted by catur catriks at 6:00 PM | Permalink
sms
hehe, kemarin malem da cew yang sms menanyakan:
Tur, U masih single? n sudah siapkah untuk nikah?
hehehe, kujawab ya dan belum

dia sms lagi: ya udah, ini selingan doang kok

aku juga menjawabnya dengan selingan
sambil nonton bola, hehe
yeah, Brazil menang lagi
 
posted by catur catriks at 5:43 PM | Permalink
waktu sibuk
menghadapi waktu padat, meninggalkan kebiasaan
yang pasti jangan tidur di kantor

menjalani waktu sibuk, tak sempat melamun
itu memang kebiasaan jelek, apalagi klo ngelamunnya gak genah

sampai desember, waktu dipacu
hingga desember, ya pokoknya sampai itu deh
aku meninggalkan kebiasaan

apalagi, ya?
ah ya, smoga tidak stressssssss

harus cukup istirahat, cukup gizi, cukup olahraga
(tapi yang ini susah)

harus cukup sharing ma temen, cukup hiburan, cukup ..
(lah ini kan kebiasaan waktu santai!)

oke, take care your mood, catriks
smoga tidak cepat tua!
heheheheeehhehheheheheheh
 
Saturday, June 17, 2006
posted by catur catriks at 8:59 AM | Permalink
sandiwara

Maka setiap manusia mempunyai peran
Karena hidup sebuah panggung
Aku tak menolak untuk menerima lakon
satu atau beberapa
Dan menganggap topengku bagus
Serta mimpi yang indah dengan sebuah rindu

Rindu menggambar jagat
Dengan matahari yang lebih dekat
Agar terangnya membawaku jauh dari wilayah sesat

Akan kugambar dengan warna merah
Tanpa membentangkan garis zamrud
Kuisi dengan anak-anak yang bermain gobang
Atau seorang ibu yang menangisi anaknya

Semoga tidak akan kudengar seseorang berbisik ngeri:
Ada si lemah melukis jagad
Dengan kuas cakar elang dan tinta amis

Tapi
Aku ingin mendengarkan hati
Kalau dia masih murni
Bila dia masih setia

Maka perang di atas panggung akan lebih berkeringat
Tanpa kalah menang
Peranlah yang berjaya
Berdiri angkuh di atas ketinggian
Jagad yang aku gambar

Aku tak mengetahui kapan peranku diganti
Lebih baik kutabuh genderangku saja
 
posted by catur catriks at 8:57 AM | Permalink
Rahasia
rahasia Tuhan menyebar di mana-mana
terimplementasi dalam cakupan ibrah

aku menyimpan rahasia tak berharga
di selaput bibir yang menyuka kebohongan

tak pernah kutemukan diriku yang telanjang
di antaranya tetap ada dusta menutup kulit

mungkin ada kata bersih yang bermakna
sebenar-benarnya bersih
hanya aku kira,
belum ada manusia yang pernah menjabatnya

maafkan,
ini bukan pembelaan

tapi ijinkan aku untuk menyimpan rahasia itu
dan semoga tak akan ada yang menanyakan
sehingga aku tak perlu berbohong
untuk menjawabnya
 
posted by catur catriks at 8:55 AM | Permalink
kesempatan
Banyak kesempatan yang lewat di depan kita. Ada yang duduk sebentar, ada yang tidur sampai lama, tapi ada juga yang hanya melintas. Ya, begitu banyak.
Seorang remaja yang tumbuh akan menyaksikan betapa kesempatan begitu menghampar di depan. Lalu mereka berpikir: Aku masih terlalu belia, belum saatnya. Ia biarkan semuanya tergeletak di pinggir waktu
Seorang pemuda yang penuh sisi-sisi idealis dengan sangat nyata merasakan adanya peluang yang berkali-kali datang. Ia telah tahu kata bijak dan beberapa ilmu optimisme, tentang manajemen, tentang misi dan visi. Tapi karena inilah, mereka menilai kesempatan dan peluang yang hadir, diangggap sebagai sesuatu bidang yang tidak cocok dengan potensi dirinya. Tidak sesuai selera dan kesenangan, atau tidak nyaman. Sementara mereka menunggu kesempatan yang menurutnya benar-benar pas dengan keinginannya. Mereka mengharapkan sesuatu yang diharapkan.
Dan ketika sudah tua, kita baru sadar, apa pun yang kita ketahui, apa pun yang ada di kepala kita tak akan ada buktinya apabila kita tidak melakukan.
Seorang sarjana tak akan terlihat sebagai intelek apabila ia tidak melakukan apa-apa. Seorang pemikir, ide-idenya akan menguap apabila ide-ide tersebut hanya sampai di mulut. Beretorika ke sana ke mari. Seseorang yang bisa berimajinasi, akan sia-sia apabila ia hanya menyalurkannya pada malam menjelang tidur sambil melamun membayangkan.
Potensi apapun yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa apabila kita tidak membuktikannya. Lakukan apa yang menurut kita harus dilakukan. Jangan ragu atau menunda. Ragu akan meminimalkan hasil kerja. Menunda berarti memanjangkan waktu dari pekerjaan yang seharusnya selesai dalam satu minggu menjadi sebualn atau setahun.
 
posted by catur catriks at 8:51 AM | Permalink
adepi bae
-Untuk apa Mas Yadi pergi ke Batu Raja?
-Yaa, untuk usaha. Bagaimana lagi, lha wong di sini, nggak ada kerjaan je.
-Kasian orang tua, gak ada yang nemenin.
-Lha, masalahnya, kalau aku di sini terus, ya majunya kapan? Tak ada kerjaan yang pasti. Lebih sering melamun dari pada kerja. Lagian Adhe kan tahu, aku dah cukup berumur, tidak baik untuk terus berpangku tangan.
-Iya sih. Brarti ortu sendirian di kampung?
-Kamu di Bogor, Mbak Siti di Pekanbaru, aku ke Baturaja (Lampung, Palembang, Jambi?), ya ortu sendiri!
-Kasihan Mama dan Bapak, dah tua, gak ada yang nemenin.
-Yah, gimana lagi, nasib keluarga kita, Dhe.

Suara-suara itulah yang terdengar di hati Kakak-Adik. Baik yang terucapkan atau tidak. Tapi mereka dapat merasakan garis nasib yang harus ditanggung. Anak meninggalkan kedua orang tuanya, semua, tak ada yang tinggal mendampingi

Di hati sang Adik, ada sebuah ketakutan, andaikata kakak yang satu ini menyusul Mbak Siti di Pekanbaru. Artinya ia menikah di perantauan dan menetap. Dengan begitu, dua di antara tiga bersaudara itu akan jauh dengan ortu. Dan bila itu terjadi, tinggal si Adik saja harapan orang tua untuk mendampingi mereka di Banjarnegara, Jawa Tengah, menjalani masa tua.

Sementara sekarang si Adik bekerja di Bogor, Jawa Barat, kota yang jauh dari kampung lahirnya. Ia sendiri tak tahu akan hidup di mana. Sementara mencari pekerjaan di Banjarnegara adalah hal yang lumayan sulit.

Ya, mereka adalah orang-orang biasa. Orang-orang yang mudah menyerah pada keadaan.

Mbak Siti, sebelum pergi ke Pekanbaru, sempat menganggur setahun, ia tidak mendapatkan kerja di Banjarnegara. Akhirnya ia nekat untuk pergi ke Pekanbaru.
Mas Yadi, lebih lama lagi. Akhirnya ia kerja serabutan. Dan sekarang ia juga berniat untuk ke Sumatra.
Sang Adik, setelah lulus kuliah, sempat istirahat di rumah dua bulan. Baru dua bulan, ia sudah tidak betah. Ia lari ke Jakarta dan diterima bekerja di Bogor.

Tapi sekarang si Adik menanggung banyak pikiran, mengenai keberadaan kedua orang tuannya di kampung.
Si Adik sadar, bahwa orang tuanya bukan orang Padang atau orang Batak yang menyuruh anaknya untuk merantau. Orang tuanya adalah orang Jawa tulen yang punya falsafah kumpul sangat kuat. Mereka tak pernah menghendaki anak-anaknya pergi dari sampingnya.

Pada kenyataannya, sekarang semua anak-anaknya pergi dengan membawa harapan masing-masing.

Mbak Siti pernah mengatakan kepada si Adik sesuatu:
Kita boleh berharap dan berdoa, tapi Alloh-lah yang menentukan.
Kita tidak tahu di mana kita akan dilahirkan, di mana kita menjalani hidup, dan di mana kita akan mati.

Ucapannya begitu dalam.
Hanya saja, sekarang ucapan itu dipahami oleh sang Adik sebagai kepasrahan akan adanya sebuah batas. Seperti mata yang tak mampu melihat jarum si seberang jalan.

Rejeki sudah di bagi, kita berwajib untuk menjemput. Tapi perjalanan keluarga itu terasa berat.
Apakah mereka tertempa untuk menjadi manusia yang tabah? Entah.
Apakah mereka beranggapan bahwa hidup memang harus memindahkan beban? Dan karenanya pundak mereka harus memar. Kaki harus melepuh?
Entah, mungkin dengan begitu, mereka akan merasakan artinya sebuah langkah.
Apakah mereka akan menganggap:
Ah, itu biasa dan remeh. Tidak ada manusia yang hidup tanpa masalah, hadapi saja!
Entahlah

Si Adik bimbang. Dia selalu bingung untuk menentukan pilihan. Apakah suatu saat ia akan berhenti bekerja di Bogor, kembali ke Banjarnegara untuk menemani Mama dan Bapaknya. Apakah ia tetap di sana, menikah dan menetap di kota itu? Apakah dia harus mamboyong kedua ortunya ke Bogor?
Sepertinya itu tidak mungkin. Mama dan Bapak akan bersikeras untuk tetap tinggal di kampung kelahiran sampai meninggal, karena ucapan itu pernah diberikan ketika Mbak Siti ingin mengajak mereka tinggal di Pekanbaru.

Tuhan, untuk itu si Adik tak tega bila teringat mata basah Mama dan kerut di dahi Bapaknya.

Dan sekarang, ia takut berpikir tentang sesuatu, kehidupan baru.

Padahal ia pernah membayangkan, betapa menyenangkannya sesuatu itu dilakukan di usia muda (dini).
Atau paling tidak ia pernah membayangkan, besarnya kesenangan bila menuruti pos kelakuan sewaktu lajang.

Bayangan itu kini tertahan oleh keinginan untuk membantu pada kesejahteraan hati orang tuanya.
Bayangan itu kini tertahan oleh keinginannya untuk tidak melakukan sesuatu itu sebelum kedua orang tuanya bisa tersenyum menikmati masa tua.

Si Adik kini berpuisi untuk mendamaikan hati:

Mencerburku karena berenang itu bergerak
Mendakiku karena di atas ada dingin
Menggedorku karena di balik pintu ada pelajaran
Masukku, di dalam ada yang menunggu

Tak ada jalan yang menyesat
Tak ada beban tanpa mula atau akhir

Semua akan tampak sama
Seperti gajah yang membawa berat tubuhnya
Seperti semut di lubang balik tanah

Tuhan mendengar
Tuhan melihat
Tuhan Maha berencana

Mama
Bapak
Baik-baik saja kalian di sana

Semoga
Suatu saat, riang akan menjemput
Amin
 
Thursday, June 01, 2006
posted by catur catriks at 7:51 AM | Permalink
ngariung bareng
wah, uagght
sendawaku merdu n mesra
dengan aroma gurame bakar, hehehe
(gue habis banyak, ya?)
tapi memang makan bareng-bareng itu menyenangkan. cem-macem menu sesuai selera disaji di satu meja santap
wah, enak banget tuh tadi petang
sebenare sich,bukan cuma makanannya, tapi kebersamaan kita, Kawan.
bukankah begitu Zal, Ndul, Wid, n Va?
(dengan suara manis, jawablah: he-eeh)
yang penting adalah ceria kita
melupakan rutinitas sejenak
menyegarkan saraf
eh, kata Kak Seto, itu penting bho!

tapi mahal!!!
ya sich, he he he
but, ayolah, when we ll back to makan bareng?