Saturday, June 17, 2006
posted by catur catriks at 8:51 AM | Permalink
adepi bae
-Untuk apa Mas Yadi pergi ke Batu Raja?
-Yaa, untuk usaha. Bagaimana lagi, lha wong di sini, nggak ada kerjaan je.
-Kasian orang tua, gak ada yang nemenin.
-Lha, masalahnya, kalau aku di sini terus, ya majunya kapan? Tak ada kerjaan yang pasti. Lebih sering melamun dari pada kerja. Lagian Adhe kan tahu, aku dah cukup berumur, tidak baik untuk terus berpangku tangan.
-Iya sih. Brarti ortu sendirian di kampung?
-Kamu di Bogor, Mbak Siti di Pekanbaru, aku ke Baturaja (Lampung, Palembang, Jambi?), ya ortu sendiri!
-Kasihan Mama dan Bapak, dah tua, gak ada yang nemenin.
-Yah, gimana lagi, nasib keluarga kita, Dhe.

Suara-suara itulah yang terdengar di hati Kakak-Adik. Baik yang terucapkan atau tidak. Tapi mereka dapat merasakan garis nasib yang harus ditanggung. Anak meninggalkan kedua orang tuanya, semua, tak ada yang tinggal mendampingi

Di hati sang Adik, ada sebuah ketakutan, andaikata kakak yang satu ini menyusul Mbak Siti di Pekanbaru. Artinya ia menikah di perantauan dan menetap. Dengan begitu, dua di antara tiga bersaudara itu akan jauh dengan ortu. Dan bila itu terjadi, tinggal si Adik saja harapan orang tua untuk mendampingi mereka di Banjarnegara, Jawa Tengah, menjalani masa tua.

Sementara sekarang si Adik bekerja di Bogor, Jawa Barat, kota yang jauh dari kampung lahirnya. Ia sendiri tak tahu akan hidup di mana. Sementara mencari pekerjaan di Banjarnegara adalah hal yang lumayan sulit.

Ya, mereka adalah orang-orang biasa. Orang-orang yang mudah menyerah pada keadaan.

Mbak Siti, sebelum pergi ke Pekanbaru, sempat menganggur setahun, ia tidak mendapatkan kerja di Banjarnegara. Akhirnya ia nekat untuk pergi ke Pekanbaru.
Mas Yadi, lebih lama lagi. Akhirnya ia kerja serabutan. Dan sekarang ia juga berniat untuk ke Sumatra.
Sang Adik, setelah lulus kuliah, sempat istirahat di rumah dua bulan. Baru dua bulan, ia sudah tidak betah. Ia lari ke Jakarta dan diterima bekerja di Bogor.

Tapi sekarang si Adik menanggung banyak pikiran, mengenai keberadaan kedua orang tuannya di kampung.
Si Adik sadar, bahwa orang tuanya bukan orang Padang atau orang Batak yang menyuruh anaknya untuk merantau. Orang tuanya adalah orang Jawa tulen yang punya falsafah kumpul sangat kuat. Mereka tak pernah menghendaki anak-anaknya pergi dari sampingnya.

Pada kenyataannya, sekarang semua anak-anaknya pergi dengan membawa harapan masing-masing.

Mbak Siti pernah mengatakan kepada si Adik sesuatu:
Kita boleh berharap dan berdoa, tapi Alloh-lah yang menentukan.
Kita tidak tahu di mana kita akan dilahirkan, di mana kita menjalani hidup, dan di mana kita akan mati.

Ucapannya begitu dalam.
Hanya saja, sekarang ucapan itu dipahami oleh sang Adik sebagai kepasrahan akan adanya sebuah batas. Seperti mata yang tak mampu melihat jarum si seberang jalan.

Rejeki sudah di bagi, kita berwajib untuk menjemput. Tapi perjalanan keluarga itu terasa berat.
Apakah mereka tertempa untuk menjadi manusia yang tabah? Entah.
Apakah mereka beranggapan bahwa hidup memang harus memindahkan beban? Dan karenanya pundak mereka harus memar. Kaki harus melepuh?
Entah, mungkin dengan begitu, mereka akan merasakan artinya sebuah langkah.
Apakah mereka akan menganggap:
Ah, itu biasa dan remeh. Tidak ada manusia yang hidup tanpa masalah, hadapi saja!
Entahlah

Si Adik bimbang. Dia selalu bingung untuk menentukan pilihan. Apakah suatu saat ia akan berhenti bekerja di Bogor, kembali ke Banjarnegara untuk menemani Mama dan Bapaknya. Apakah ia tetap di sana, menikah dan menetap di kota itu? Apakah dia harus mamboyong kedua ortunya ke Bogor?
Sepertinya itu tidak mungkin. Mama dan Bapak akan bersikeras untuk tetap tinggal di kampung kelahiran sampai meninggal, karena ucapan itu pernah diberikan ketika Mbak Siti ingin mengajak mereka tinggal di Pekanbaru.

Tuhan, untuk itu si Adik tak tega bila teringat mata basah Mama dan kerut di dahi Bapaknya.

Dan sekarang, ia takut berpikir tentang sesuatu, kehidupan baru.

Padahal ia pernah membayangkan, betapa menyenangkannya sesuatu itu dilakukan di usia muda (dini).
Atau paling tidak ia pernah membayangkan, besarnya kesenangan bila menuruti pos kelakuan sewaktu lajang.

Bayangan itu kini tertahan oleh keinginan untuk membantu pada kesejahteraan hati orang tuanya.
Bayangan itu kini tertahan oleh keinginannya untuk tidak melakukan sesuatu itu sebelum kedua orang tuanya bisa tersenyum menikmati masa tua.

Si Adik kini berpuisi untuk mendamaikan hati:

Mencerburku karena berenang itu bergerak
Mendakiku karena di atas ada dingin
Menggedorku karena di balik pintu ada pelajaran
Masukku, di dalam ada yang menunggu

Tak ada jalan yang menyesat
Tak ada beban tanpa mula atau akhir

Semua akan tampak sama
Seperti gajah yang membawa berat tubuhnya
Seperti semut di lubang balik tanah

Tuhan mendengar
Tuhan melihat
Tuhan Maha berencana

Mama
Bapak
Baik-baik saja kalian di sana

Semoga
Suatu saat, riang akan menjemput
Amin