Wednesday, March 12, 2008
posted by catur catriks at 11:06 AM | Permalink
KEKAYAAN BERHARGA
Kemarin, di sela waktu kerja, saya sempat berbincang dengan para ilustrator di ruang mereka, untuk kemudian mendapatkan cerita dari seorang di antaranya, yang mengingatkanku pada cerita “indah” yang pernah kualami, dua tahun yang lalu.

Ilustrator tersebut berkata bahwa kemarin dia baru saja “tertipu” oleh adik iparnya. Sudah beberapa hari adiknya tinggal bersamanya di Bogor dalam rangka mencari kerja. Kemarin ia mendapat panggilan di Jakarta.

Si istri illustrator bilang, “Mas, adikku minta uang untuk transport ke Jakarta. Uang kita tinggal segini, bagaimana? Apa nggak usah berangkat aja? Berangkatnya nanti klo pas kita punya duit dan pas juga klo dia ada panggilan lagi?”

Si suami berpikiran lebih panjang. Ini urusan kerja. Kesempatan. Kebutuhan rumah tangga bisa dicari ke lain tempat. Dia bilang, “Kasihkan aja duitnya, sekalian buat sakunya. Kali-kali aja dia ada kebutuhan dadakan di sana. Karena dia adikmu, kamu aja yang pesan agar setelah tes selesai, langsung pulang. Nggak usah jalan-jalan. Boros.”

Si istri menyampaikan. Esok harinya, si adik berangkat memenuhi panggilan tes masuk kerja.

Hampir malam, si adik belum pulang. Kemudian ada sms: Mbak, saya nggak pulang, main ke tempat temen dan nginep.

Si suami mengetahui kabar, kemudian dia bilang kepada istrinya, ”Kamu ngomong nggak sama adikmu, kalau uang yang kita kasih itu uang kita yang memang tinggal segitu-gitunya? Diminta langsung pulang kok malah nginep. Ngabisin ongkos saja. Nggak bisa njaga kepercayaan.”

Ia sedikit kesal, tapi tak marah. Begitulah. Ketika menceritakannya kepada kami, ia bicara sambil tertawa-tawa. “Kesialannya” telah ia anggap sebagai lelucon. Tapi ada sesuatu yang kutangkap, yaitu tentang ketidakmemperhatikannya si adik tersebut akan sebuah kepercayaan yang diharapkan.

Sambil tersenyum, saya ingat kejadian dua tahun kemarin. Pelakunya adalah saya sendiri. Hanya saja, akhir plotnya sedikit berbeda.

Dua tahun kemarin, saya masih seorang pengangguran. Setelah lulus, saya langsung pergi ke Bekasi ke tempat Bu Lik-ku (Bibi) sambil mengirim lamaran kerja. Dalam waktu menunggu, saya numpang di rumah Bibi. Rumah kontrakan yang sempit. Tentu bukan cuma numpang tidur, saya juga numpang makan, minta uang transport, uang jajan, dan bentuk numpang-numpang yang lain.

Untuk panggilan kerja yang pertama, saya gagal. Yang kedua, alhamdulillah saya berhasil dan bekerja di Bogor.

Di hari-hari awal, saya pulang pergi Bekasi – Bogor dengan biaya transport dan makan siang sepenuhnya ditanggung oleh bibiku. Karena agak capek, saya memutuskan untuk kos saja. Saya sampaikan niat ini kepada Bibi dan ia menyetujui. Karena saya belum gajian, maka saya minta uang kepadanya untuk bayar sewa kos dan biaya makan selama kurang lebih dua minggu.

Di sinilah, saya menemukan keindahan itu.

Bibi saya adalah seorang ibu rumah tangga. Paman saya (suaminya) adalah seorang pekerja musiman yang pada waktu itu sudah lama menganggur. Saya sadar sepenuhnya, keluarga Bibi pun sebenarnya sedang mengalami kesulitan dalam hal keuangan. Tapi Bibi saya bilang, “Ya, ada, nanti, ya.”
Saya merasa cukup lega.

Tapi saya terkejut, ketika untuk memenuhi permintaan saya, Bibi ternyata harus memecah celengannya.
Saya lihat dengan saksama, tangan Bibi memisah-misahkan uang. Celengan itu berisi uang logam lima ratusan, seribuan, beberapa lembar lima dan sepuluh ribuan. Dipisahkan dan dihitung. Setelah selesai, uang itu kemudian disorongkan ke arahku. “Semoga cukup,” katanya.

Saat itulah saya merasa, bahwa ia adalah ibuku sendiri, yang untuk kesekian kali memberikan kasih sayangnya dengan tulus tanpa kalkulasi untung rugi. Saya tahu, Bibi sangat membutuhkan uang itu. Keuangan Bibi sedang sedikit berantakan. Ia berpesan, “Usahakan cukup, jangan boros, ati-ati ya!”

Saya berusaha untuk tidak sampai pulang ke Bekasi. Walau uang itu tidak banyak, tapi harus saya cukup-cukupkan. Kujaga benar, karena menurut saya, kedudukan saya dalam keluarga adalah salah satunya dipengaruhi oleh seberapa besar mereka bias menaruh kepercayaan.

Waktu gajian pertama tiba. Aku pulang ke Bekasi bermaksud mengembalikan uang kepada Bibi. Tapi tentu saja, bibiku menolak.
Tiba-tiba bibiku merasa sangat kaya.

Saya sepakat dan teman-teman tentu tahu maksudnya bahwa kasih sayang keluarga adalah kekayaan itu. Kekayaan yang sangat berharga.

Semuanya pasti berubah. Sekarang, keluarga Bibi, walau belum bisa disebut berkecukupan, tapi keadaannya pelan-pelan sedikit membaik. Saya pun mulai belajar untuk mandiri.
Alhamdulillah.


Begitulah, pembicaraan hari ini bisa mengait pada sesuatu yang telah lalu, di mana yang lalu itu menjadi cukup pantas untuk dibicarakan di hari ini.***
 
Monday, March 03, 2008
posted by catur catriks at 4:17 PM | Permalink
Takut

Sepertinya, ketakutan selalu datang tepat di titik yang lemah
Ia senantiasa tahu, kapan saat yg cocok untuk mengusik ketetapan hati

Ketika berjalan di tengah gelap
Ketakutan datang dalam bentuk bayangan jalan yang berlubang-lubang
Yang berpotensi untuk menjerembabkan kakinya

Saat menentukan pilihan, kata “kalau-kalau, bila ternyata,
kalau akhirnya begini” menyesak pikiran
dan melebihi pertimbangan

Seperti juga pada saat merencanakan hal yang besar

Ketakutan, mungkin datang dari kurangnya amunisi diri,
bukan untuk mampu meledak karena matangnya persiapan,
tapi malah melemah dan melempem
Atau juga karena bisikan musuh manusia

Kau sendiri yang berani menetapkan
Kapan waktu itu menjadi peristiwamu
Jika tidak, waktu akan terus berlari
Juga
Menua

Dan kau bisa melihat
Peristiwa hanya akan berpihak di atas kepala orang lain

Saya tahu, takut akan mengeroposkan niat
Tapi aku juga kurang tahu, apakah saya telah benar-benar punya keberanian

Karena tidak tahu
Saya akan mencari
Mungkin jalan yang paling baik adalah dengan cara menumbuhkannya