Tuesday, June 03, 2008
posted by catur catriks at 8:43 AM | Permalink
Dan, 30 Hari Kemudian
Oleh Retnadi Nur’aini (Istri Tercinta)



Beberapa bulan sebelum menikah, saya bertengkar dengan sahabat saya, Citra. Pertengkaran yang merupakan pertengkaran terhebat, sekaligus juga pertengkaran perdana selama rentang waktu lima tahun persahabatan kami.

Pertengkaran itu dimulai dari satu esai saya tentang suatu pernikahan impian. Saat makan malam di GulTik (Gulai Tikungan) Blok M dekat SMUN 70, kami pun membahasnya. Dan komentar Citra sungguh-sungguh di luar dugaan saya.

“You know what, No? Untuk ukuran seorang yang akan menikah, ekspektasi lo kelewat tinggi. Lo kelewat banyak masukin cinta dan romantisme berkilauan. Itu nggak fair untuk kehidupan yang akan lo jalani nantinya,” ujarnya sambil menatap tajam mata saya.

Mendengar komentar sepedas itu, awalnya saya cuma sanggup terperangah. Dilanjutkan dengan debat panjang selama hampir dua jam lamanya. Yang berujung pada saya menangis karena marah—ya, reaksi katarsis saya untuk banyak emosi memang menangis—selama hampir satu jam lamanya di hadapan Citra.

“I know you hate me right now, Sweetie. Tapi gua percaya bahwa adakalanya cinta tidak dikatakan, tapi ditunjukkan dengan perbuatan. Gua sayang sama lo, dan gua harus bilang itu. Maaf, ya, Sayang…” ujar Citra lembut.

Ya, waktu itu saya memang marah sekali pada Citra. Di antara seluruh orang di dunia, dialah yang paling paham segala ketakutan saya tentang pernikahan. Dan saat saya berusaha memerangi ketakutan saya dengan menuliskan suatu esai romantis tentangnya—dalam pandangan saya yang sedang marah saat itu—Citra jugalah yang paling tidak suportif.

Toh sehebat apapun pertengkaran kami malam itu, tiga jam kemudian kami kembali berbaikan. “Meski gua masih sebel sama lo, ya, Neng. Tapi besok udah nggak, kok. Love you, Cit,” ujar saya sambil mencoba tersenyum dengan mata sembab. Yang dibalas dengan bercanda oleh Citra. “Iyalah, you love me, don’t you? Hehehe, love you, No,” ujarnya sambil memeluk saya malam itu sebelum kami berpisah.

Dengan pernyataan Citra yang terus terngiang-ngiang di kepala dan telinga saya.***

30 hari setelah menikah, pernyataan Citra tak juga henti bergema di kepala dan telinga saya. Namun untuk pertama kalinya, saya mulai menganggapnya masuk akal. Untuk pertama kalinya, saya juga mulai belajar tentang suatu konsep pernikahan. Dan untuk pertama kalinya, saya bersyukur, bahwa Citra pernah melempar komentar pedas itu ke hadapan saya dulu.

Well, ada banyak hal yang saya pelajari untuk pertama kalinya, setelah menikah. Dan dalam kurun 30 hari, berikut beberapa di antaranya:

Saya belajar untuk menyiapkan minuman hangat bagi suami setiap pagi dan petang. Saya belajar untuk menyiapkan segelas air putih di samping piring suami saat sarapan, makan siang, atau makan malam. Saya belajar untuk menggandeng tangannya di jalan.

Saya belajar untuk melarutkan dulu deterjen ke dalam ember air selama setengah jam. Saya belajar untuk menyeterika pakaian suami sebelum ia berangkat kerja. Saya belajar untuk merendam bilasan terakhir cucian ke dalam larutan pewangi dan pelembut pakaian.

Saya belajar, bahwa tak semua keinginan saya bisa dipenuhi. Saya belajar, bahwa saat menangis, saya tak harus melulu dihibur. Ada kalanya, saya harus belajar untuk paham, bahwa kekecewaan suami jugalah merupakan suatu bentuk hukuman. Dan saat sumur air mata sudah habis ditimba, saya belajar untuk minta maaf.

Saya belajar bahwa perasaan cemburu memang kerap kali tak masuk akal. Pun sangat irasional, saya belajar untuk jujur, pada apa yang saya rasakan. Sebaliknya, saya juga belajar untuk menerima kecemburuannya berdasarkan hal-hal yang menurutnya signifikan. Dengan demikian, saya belajar untuk menempatkan diri dalam sepatunya, dan merasakan apa yang ia rasakan.

Saya belajar untuk berempati.

Saya belajar bahwa kami dibesarkan dari keluarga yang berbeda, dengan kebiasaan dan selera yang berbeda pula. Sehingga, saya belajar untuk bertanya sebelum mulai membelikannya sesuatu.

Saya juga belajar untuk bertanya sebelum mulai membeli makanan ringan dalam jumlah banyak. Saya juga belajar untuk bertanya, sebelum mulai memindahkan televisi dan menata ruangan. Saya belajar untuk berdiskusi. Saya belajar untuk berkompromi.

Saya belajar bahwa cinta tak lantas membuat kami jadi dukun yang bisa saling membaca pikiran. Karenanya, saya belajar untuk menggunakan kata sifat untuk menjelaskan kata “sayur”, sehingga saat saya meng-sms suami dan minta tolong dibelikan sayur matang, suami tidak malah membelikan sayur mentah untuk dimasak.
Begitu juga saat kami bertengkar.

Saya belajar untuk menjelaskan penyebab kekecewaan secara rasional. Untuk efek emosional yang disebabkan oleh kekecewaan, saya belajar untuk mengunyahnya lumat-lumat, sebelum dilontarkan. Dari sana, saya belajar, bahwa dengan kepala dingin, segala bentuk kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan, bisa didiskusikan.

Saya belajar untuk memijiti kaki dan tangan suami. Saya belajar untuk menghapalkan jenis sayur kesukaannya, merk kopi yang biasa diminumnya, berapa jumlah telur yang ditambahkannya untuk sepiring mi goreng, berapa sendok susu dan madu yang pas di lidahnya untuk segelas susu madu. Saya belajar untuk menyenangkannya.

Saya belajar untuk tidak berlama-lama menerima telepon di kala malam atau di akhir pekan. Sebaliknya, saya juga belajar untuk tak meng-sms teman kantor menanyakan masalah pekerjaan saat mereka sudah berada di rumah. Karena seperti halnya saya yang juga ingin beristirahat di rumah, mereka juga pasti demikian.

Saya belajar bahwa menunggu pasangan pulang itu menyesakkan.
Kita bisa dihantui sejuta kekhawatiran, saat ia tak kunjung datang. Dan karena pada akhirnya saya belajar bahwa khawatir merupakan suatu bentuk emosi yang cukup melelahkan, maka saya pun belajar untuk tidak lagi pulang kerja larut malam.

Saya belajar membiasakan diri membawa oleh-oleh saat berkunjung ke rumah saudara ataupun teman. Saya belajar untuk berusaha selalu membalas sms dan mengangkat telpon. Saya belajar untuk lebih peduli.

Saya belajar membiasakan diri mengucapkan salam. Saya belajar untuk menambahkan kata “Mas” dan “Mbak” pada orang yang lebih tua, pun itu adalah kepada ketiga abang saya yang tak terlalu peduli pada bentuk nama panggilan. Saya belajar untuk menghormati orang lain.
Saya belajar membiasakan diri untuk menggunakan kata “kami”.

Saya belajar untuk selalu menyiapkan uang receh. Saya belajar untuk mengambil uang di ATM dalam jumlah besar ketimbang dalam jumlah sedikit tapi sering. Karena kita tak selalu menemukan ATM. Saya belajar untuk selalu punya stok “keperluan wanita”. Sehingga kali lain saya tiba-tiba “kedatangan tamu”, suami tak perlu jalan kaki ke warung yang cukup jauh pada tengah malam buta. Saya belajar untuk selalu punya antisipasi dan persiapan dalam segala hal.

Saya belajar bahwa toh, pada akhirnya, tak semua ketakutan saya itu terbukti. Beberapa di antaranya ternyata hanyalah kecemasan berlebihan terhadap keengganan akan suatu perubahan. Dan mengutip kata Citra, saya juga belajar bahwa cinta tak melulu harus dikatakan. Melainkan berwujud nyata dalam suatu perbuatan.

Kini, 30 hari lewat sudah, sejak kami berjanji. Semua pelajaran ini juga tak lantas berhenti sampai di sini. Karena masih panjang perjalanan hari. Dan dalam perjalanan itu, kami akan kembali membuat beragam kesalahan. Kami akan kembali berdebat. Kami akan kembali salah paham. Kami akan kembali bertengkar. Pun, kami akan kembali berdiskusi. Kami akan kembali saling minta maaf. Kami akan kembali berkompromi.

Tentu saja, tak semua kompromi punya solusi melegakan. Pun, tak semua hari berhiaskan romantisme berkilauan. Dan tak semua pelajaran ini juga sempurna hasilnya. Namun, dari sana, saya belajar satu hal.
Bahwa kami, tak akan berhenti untuk terus belajar.***


(Persembahan untuk: Diani Citra—sahabat yang menepati janjinya menjadi Mata, Telinga, dan Suara. Juga untuk seseorang yang khilaf menerima saya sebagai istri –Mas Catur Sukono—suami terhebat yang tak pernah lelah untuk menunggu saya belajar menjadi dewasa. Thank God I found you. Semoga khilafmu permanen ya, Ayang)