Friday, April 11, 2008
posted by catur catriks at 9:21 AM | Permalink
Pernikahan Impian Saya

Sedang teringat sebuah tulisan yang menarik, yang pernah saya temukan, yaitu tentang pernikahan impian.

Terima kasih kepada penulisnya yang telah mengijinkan untuk mempostingnya.
===============================================================

Pernikahan Impian Saya


Ide tentang pernikahan impian bisa datang di mana saja.
Ide saya berawal dari pojokan satu ruang resepsi pernikahan.

Saya ingat, sekitar dua tahun yang lalu, saat sedang menghadiri resepsi pernikahan seorang teman, beberapa teman saya mulai mojok dan mengobrol tentang pernikahan impian mereka.

Beberapa orang menyatakan keberatannya untuk mengikuti adat. Beberapa orang mencetuskan tempat impian untuk berbulan madu. Dan masih ada bertumpuk-tumpuk rencana pernikahan yang riuh diobrolkan sambil rebutan. Sementara saya hanya bisa mendengarkan sambil termangu-mangu.

Sampai seorang teman menyentak saya dengan satu pertanyaan.
“Kalo kamu, pingin nikahan kaya gimana?” begitu cetusnya.

Satu pertanyaan yang tak saya sangka akan saya temui di umur 21 tahun. Umur yang saya isi dengan kesibukan seputar kuliah, kerja, dan bersenang-senang dengan teman-teman. Tanpa pernah terlintas sedikitpun ide tentang pernikahan.

Dengan keterbatasan pemahaman dan khayalan, tak heran bila saya kemudian tak bisa menjawab pertanyaan itu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, saya pun mulai mengumpulkan keping-keping jawabannya.

Dan dalam waktu beberapa tahun, berikut adalah jawaban saya.

***

Pernikahan impian saya tak perlu banyak bunga. Karena saya tahu, setiap hari dari sisa umur saya nantinya akan diisi oleh saya dan suami saya dengan mengumpulkan bunga-bunga tercantik di dunia. Untuk kemudian ditanam dalam pot-pot bunga yang menghiasi setiap sudut ruang hati saya. Tempat dimana kami nantinya akan bercengkerama setiap petang. Menanti matahari terbenam, sambil mengagumi kecantikan bunga-bunga langka ini, yang dengan ajaibnya akan mekar sepanjang masa.

Pernikahan impian saya tak perlu mahar luar biasa ataupun seserahan tujuh rupa. Tapi saya tahu, mahar saya mahal harganya. Saking mahalnya mahar yang nantinya akan saya minta, calon suami saya malahan tak akan bisa menemukannya di toko serba ada. Karena mahar itu berupa niatan untuk terus memperbaiki diri dan juga tanpa henti untuk terus belajar saling memahami.

Dan tentu saja, cinta yang bisa membawa kami berdua terbang ke surga.

Cinta yang pada masanya nanti, mungkin tak lagi meledak seperti gempa bumi ataupun berlukiskan pelangi warna-warni. Cinta yang pada masanya nanti, mungkin juga tak lagi berupa napas tersengal. Ataupun helaan napas dan degup debar.

Namun, cinta yang hangat.
Yang didasari oleh kasih. Berhiaskan pengertian, kepercayaan, dan kesabaran. Dengan terus dikipasi oleh niat dan semangat untuk saling menguatkan dalam kebaikan. Cinta yang bahkan di hari-hari termendung sekalipun, akan tetap mengizinkan kami untuk saling memberikan penghiburan dan menguatkan sebagai sepasang sahabat.

Cinta yang pada masanya nanti, akan tetap bertumbuh. Pun gempa bumi telah lama reda, dan api jatuh cinta juga telah padam.

***

Pernikahan impian saya tak perlu gaun pengantin sewarna dengan taplak meja. Saya tahu, apapun yang akan saya kenakan nantinya, saya akan tampak istimewa. Karena gaun pengantin saya telah ditenun dengan menggunakan benang-benang terindah di dunia. Namanya, benang-benang bahagia. Bahagia ini pula yang nantinya akan digunakan untuk merias wajah saya, sehingga saya percaya, bahwa apapun riasannya, saya akan tampak cantik luar biasa.

Pernikahan impian saya tak perlu undangan berukiran halus ataupun berhiaskan pita. Karena bagi saya, yang terpenting adalah cetakan nama saya dan nama pria yang dengannya saya memutuskan untuk tua bersama. Apapun bentuknya, apapun ukurannya, apapun jenis font-nya, semuanya sempurna.

Demikian juga dengan tempat berbulan madu, ataupun tempat tinggal kami setelahnya. Bagi saya, dimanapun letaknya, bagaimanapun kondisinya, selama kami bersama, maka itu adalah tempat yang sempurna.

Dan betapa bagi saya, rumah yang sesungguhnya tercipta saat saya dan suami saya bisa saling bercerita. Tentang warna langit hari ini. Tentang kupu-kupu bersayap patah yang gagal terbang dan mati. Tentang ketakutan, harapan dan mimpi.

Tempat kami bisa saling mengetuk.
Untuk kemudian, masuk dan beristirahat sejenak.

***

Pernikahan impian saya tak perlu foto-foto pre-wedding berpigura. Karena saya tahu, sejak hari pertama kami berjanji untuk hidup bersama, sejak saat itulah saya akan memajang foto-foto kenangan berukuran raksasa tentang hal-hal yang kami pelajari satu sama lain.

Foto-foto indah, yang akan saya simpan rapih sebagai harta karun yang berharga, di dalam taman rahasia hati saya. Dan seperti buku berhalaman super tebal yang tak akan pernah habis dibaca, ataupun film berdurasi super panjang yang tak akan pernah usai ditonton, pameran foto ini juga akan digelar di taman rahasia ruang hati saya sepanjang masa.

Pernikahan impian saya tak perlu diramaikan dengan hiburan. Karena saya ingin, saya sendirilah yang nanti akan menghibur suami saya setiap harinya. Saya akan menyanyi, saya akan menari, saya akan membaca puisi, saya akan bercerita, saya akan menulis banyak tulisan cinta untuknya. Apapun, yang saya tahu bisa membuatnya tertawa, atau sekedar tersenyum, selepas ia pulang kerja.

Pernikahan impian saya tak perlu perjanjian pra-nikah. Bagi saya, janji seorang pria kepada Tuhan saat ijab kabul adalah janji yang paling utama. Karena itu adalah janji seorang pria pada penciptanya, Sang Maha. Dan saya selalu percaya, bahwa para pecinta Tuhan, tak akan pernah berani untuk mendustaiNya.

Pernikahan impian saya tak perlu perayaan megah. Saya tak membutuhkannya. Bagi saya, lebih penting adalah rencana kami setelahnya. Seperti misalnya, mencari sekolah dimana anak kami nantinya bisa belajar dengan sukacita. Atau, buku-buku yang akan kami gunakan untuk mengajari anak kami berkata-kata untuk pertama kalinya. Atau bahkan, tentang pondok masa depan saat anak kami telah terbang meninggalkan rumah nantinya.

Saat kami kembali punya cukup waktu untuk berduaan menonton matahari terbenam. Dimana seperti biasa, Tuhan akan mulai melukisi langit dengan warna oranye, dilanjutkan dengan warna hijau keperakan. Warna-warna sama yang tak akan pernah lekang. Tidak seperti rambut kami yang telah beruban. Ataupun tangan kami, yang meski telah sama keriput, namun tetap saling menggenggam.

“Senjanya cantik,” begitu ujarmu.
Dan saya akan tersenyum. “Ah, cantikan juga kamu.”
Lalu senja akan pamit dengan satu kecupan panjang yang mendamaikan.

***

Seperti saya tulis di atas, tentu saja saya juga punya imajinasi tentang pernikahan impian saya nantinya. Begitu banyaknya, sampai-sampai saya tak punya cukup tenaga dan waktu memikirkan hal-hal pendukung seperti resepsi dan sebangsanya.

Bagi saya, yang terpenting adalah hari-hari setelahnya. Dimana saya dan suami saya akan berlomba membuka kado-kado kiriman Tuhan yang berisikan semua anugerah terindah di dunia.

Lembar demi lembar.
Pita demi pita.
Di setiap hari baru kami, yang bertaburan dengan cinta.

***