Thursday, July 12, 2007
posted by catur catriks at 6:49 PM | Permalink
Membicarakan (lagi) Jodoh

Hanya ingin membicarakan obrolan ringan, mengingat akhir-akhir ini banyak teman yang menikah, teringat juga usia saya yang tidak lagi belia. Waktunya untuk memikirkan jodoh, mengikat diri dalam mitsaqon gholidza.

Sebenarnya bukan kali pertama hati terusik oleh keadaan, sebelumnyapun saya pernah mencoba untk mendapatkan, tapi jalan menuju ke sana sempat terpentok. Akhirnya jalan itu dilewati oleh orang yang lebih siap.

Perbincangan masalah jodoh seringkali kita temukan di beberapa tempat, seperti di milis-milis, mengingat masalah tersebut merupakan salah satu fase dalam kehidupan manusia, sangat penting dan dekat. Apalagi bila dikaitkan dengah cinta, takdir (fitrah manusia), dan keinginan untuk membangun keluarga samara. Maka ini tak akan pernah habis dibicarakan (ditulis). Seperti tinta yang terbuat dari samudera.

Bagi yang belum menikah dan sedang mengejar atau menunggu jodoh, apa yang Anda pikirkan mengenai hal tersebut? Saya sengaja menggunakan kata menunggu atau mengejar karena ada wanita dan laki-laki. Laki-laki cenderung untuk mencari. Ia lebih aktif. Sedangkan wanita cenderung lebih pasif (menunggu). Walau pada kenyataannya hal ini bisa terbalik atau bercampur antara menunggu sekaligus mencari.

Ya, apa yang Anda pikirkan mengenai hal tersebut?

Saya sendiri merasa sulit untuk mendefinisikan atau mengungkapkan dengan tepat apa yang ada dalam hati dan kepala. Terlalu ruwet walau mungkin sebenarnya sederhana. Atau mungkin sederhana tapi saya tidak ingin menggampangkan.

Sebagai seorang yang beragama, tentu saya ingin mendapatkan jodoh dengan diawali niat yang lurus, cara yang benar, tujuan yang diridhai Tuhan, dan mensegerakan.

Semua orang pasti menginginkan hal ini. Hanya pada kenyataannya banyak hal yang kadang sedikit banyak menyimpang.

Mendapatkan pasangan yang sekufu (layak dan serasi) pun merupakan satu impian. Karena keseimbangan sangat diperlukan saat pasangan tengah mengarungi samudera berombak. Lebih jauh, sebagai seorang yang beragama, kehidupan keluarga hendaknya dipenuhi dengan berkah yang selalu tumbuh dan berkembang (an nama’ waz ziyadah). Adanya sikap saling mempercayai terhadap pasangan dan sama-sama mempunyai keinginan untuk menjadikan keluarga sebagai pilar utama tarbiyah dan dakwah bagi para anggotanya.

Untuk hal ini kadang ada yang mengatakan bahwa sebelum memutuskan untuk menikah, perlu dikomunikasikan terlebih dahulu terhadap masing-masing calon pasangan. Tentu komunikasi tidak terbatas pada kata “setuju” atau kata “agak keberatan”. Salah satu tujuannya mungkin agar ke depannya tidak ada masalah yang bisa mengakibatkan rusaknya (hancur) hubungan antar pasangan. Untuk hal ini, peran laki-laki sebagai qowwam (pemimpin) sangat perlu untuk dikualitaskan.

Sebagai anak manusia dengan segala kebutuhan hidup, kadang juga saya berkeinginan bahwa pasangan kelak bersedia dengan ridha dan lega atas nafkah materi yang saya berikan. Ini mengingat penghasilan saya yang masih belum bisa dibilang meyakinkan (hmm …tentu sudah sangat banyak yang melakukan hal ini, ya?). Lebih jauh adalah pasangan yang mampu menunjang kesejahteraan keluarga. Memang ekonomi tidak berarti segalanya, tapi akui saja, kita smua tidak mau menghidupi keturunan dengan kekurangan, bukan? Bahkan Islam pun mengajarkn pemeluknya untuk hidup kaya. Tentu bukan kelebihan yang hanya dikukuhi sendiri. Tapi kekayaan yang sekaligus bermanfaaat bagi kemaslahatan umat.

Yang terakhir, sebagai anak manusia yang mempunyai keinginan dan keterbatasan, prinsip idealisme kadang saling tarik ulur dengan efektivitas hidup. Saya atau mungkin Anda pasti ingin mendapatkan pasangan yang cantik, dari keturunan baik-baik, kaya, dan shalihah (begitu juga dgn pihak wanita). Duuhh …siapa yang tidak mau? Tapi kadang diri ini berkaca, pantaskah aku mendapatkan orang yang seperti itu? Sudah cukupkah saya untuk dinilai sebagai anak yang ganteng, shalih, dan kaya? Hehe, kadang saya menertawakan diri sendiri dan merasa malu bila menemukan jawabannya dan kemudian membandingkan dengan keinginan di kepala. Begitu banyak kekurangan menempel pada diri saya. Pada saat itulah biasanya saya turun kembali pada wilayah realita. Saya sadar, seperti disebutkan di awal, mencari pasangan yang sekufu adalah hal yang lebih masuk akal.

Lalu bagaimana langkah untuk menemukannya? Apakah kita harus memilih-milih dengan cara berpetualang? Kita memang diberi hak oleh Tuhan untuk berikhtiar, tapi bagaimanakah ikhtiar yang benar? Tentu kita bisa mengajukan jawabannya dengan pemahaman dan alasan masing-masing.

Ketika saya mendikusikan masalah jodoh dengan orang yang saya percaya, beliau menyarankan agar saya menurunkan kriteria dalam mencari jodoh atau jangan terlalu banyak syarat. Salah satu tujuannya adalah agar saya tidak kufur nikmat, agar saya tidak egois. Aku mengerti dan berusaha. Tapi bukan berarti aku bersedia menikahi orang secara asal. Jodoh adalah urusan dunia akhirat.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengatakan kepada diri dan teman-teman yang belum menikah, laa takhaaf, janganlah takut untuk terus berusaha mencari jodoh apabila kita telah siap untuk menempuhnya. Jangan takut untuk mensegerakan. Menikah adalah ibadah.

Memang jodoh adalah sebuah rahasia. Ada yang telah berpacaran selama bertahun-tahun tapi kemudian putus begitu saja. Ada yang melaui jalur ta’aruf kemudian menikah beberapa bulan kemudian. Ada yang mencari dan menemukan, tapi yang ditemukan tidak suka dengan yang mnemukan. Ada yang datang tapi ditolak. Ada yang menunggu bertahun-tahun tapi tak kunjung juga yang datang. Ada yang begitu jauh, ada yang begitu dekat.

Hehh … sangat rahasia.

Sekarang apa yang sedang Anda pikirkan?

Kita harus ingat, tak ada hidup membujang bagi kita (laki-laki) yang telah siap untuk menikah.

Mari jadikan ini sebagai sebuah rencana besar, bagian dari satu ibadah, menyempurnakan separuh dien.

Salah satu janji Alloh adalah memudahkan jalan bagi umatnya yang akan menikah.