Senyum yang diberikan, bagai sulur yang merambat masuk dan membawa segar. Menjadikan alasan mengapa ada sebuah hubungan yang menghangat saat baru saja pedih mengguyur hati. Jika senyum itu mantramu yang digunakan untuk bermain, maka akan ada banyak yang tertipu. Seperti rombongan lebah yang datang dan bergegas pergi setelah sebelah sayapnya terbaret dan yakin bunga yang didatangi tidak mempunyai sari madu. Tentu lebah-lebah itu tak kecewa. Senyum yang kau tawarkan dan mengantar mereka pulang adalah senyum yang merambat masuk. Hanya sebuah kelegaan bahwa pada akhirnya mereka tidak jatuh di pangkal pohonmu, di tanah yang berlumpur.
Kau harus sadar, bahwa keindahan saja tidak cukup. Kesadaran permukaan memang sering memikat. Tapi waktu yang maju bergegas akan melepas para pemakai topeng, tentu setelah wajah itu palsu tanpa harus bertopeng lagi.
Saat ini, ketika musim yang menghampirimu selalu semi, semua akan mengatakan: inilah hal terbaik. Bening embun dan hijau daun adalah milikmu. Dan hari-haripun bernyanyi, sebuah pesona yang terbang dengan melebarkan dan menabur janji yang dimengerti, tanpa perlu diucap.
Jika itu milikmu, berdirilah. Pada saatnya manusia akan berjalan dengan pandangannya, dengan melenggang atau bergandeng tangan. Pun dirimu. Biji yang kau tabur akan jua kembali padamu, dengan sadar atau dengan membawa korban.
(gb dr blog indosiar)