Wednesday, May 23, 2007
posted by catur catriks at 9:13 AM | Permalink
Wajah yang berdebu

Wajah yang tersungkur di sana
Betapa ingin bisa menegak dan memandang sama tinggi
Tanpa harus menekuk saat bersemuka dengan wajahmu

Mata yang berkaca tebal itu
Betapa ingin melihat terang tanpa sebuah bantuan. Karena alami adalah sunatulloh, tapi mata itu rabun bila apa adanya. Saat bersitatap, mata itu tunduk dengan mengisyaratkan tinta pada kertas, menuliskan satu pasal yang tak pernah istirahat dibahas manusia. Pasal yang mampu memindahkan gunung, yang menjadi alasan mengapa Adam dan Hawa menyatu.

Hari-hari ini betapa wajah itu samar, menandai satu lelah rasa dan ceria yang telah lama hilang. Walau ada keinginan untuk berlari ke jauh, tapi dengan kelemahan ia berusaha bertahan. Ada sebuah rencana yang harus tak terlewatkan. Tapi memang di tempat ini ia tetap ingin berdiri, sampai ia menemukan pijakan yang baru. Bila ternyata ia terus berdiri di sini, sementara waktu terus berlari, adalah pilihan yang sebenarnya bukan pilihan. Seperti di sebuah negeri yang asing, gelagat tubuh tiada nyaman untuk bertahan, tapi debu wajah itu ingin dibersihkannya di rahasia yang sama ketika ia terkotori.

Wahai manusia yang mempunyai wajah terselimut, kemarilah. Aku ingin mencium kening dan mengucap sebuah nama yang muncul dalam sebagian mimpimu. Ketahui, kau hanya memilikinya di sana dan tidak di alam nyata.

Basuhan air dan pejaman mata di balik tapak tangan akan menutup sesaat.
Saat hembusan segar berusaha masuk ke dalam benak,
di sekujur relung

 



1 Comments:


At 1:00 PM, Anonymous Anonymous

hebat, tulisan anda sangat bagus
dan anda pejuang keras

izinkan saya menjadi teman dekat anda

salam: ideralamz@yahoo.com