Wednesday, January 10, 2007
posted by catur catriks at 8:01 AM | Permalink
tik tik

Dan apabila jalan ini telah berujung
Selalu akan dimulai jalan yang baru
Seperti kau merasakan peristiwa yang berlari

Lompatannya meninggi karena ingin lekas menaruh hati yang telah begitu berat. Hujan yang dihindari menderas menembus apa pun yang memayungi. Hanya basah, dalam, dan menggigilkan. Sebelum air itu turun, sebuah guntur mengawali untuk menggetarkan ketenangan. Mengguncang nyaman yang melena. Mendung raksasa membawa gumpalan hitam, titik air jenuh, mengalir angin di angkasa menyerupa payung hitam di atasnya. Bukan lalu gerimis, tapi hentakan hujan yang tumpah. Suara telepon mengabarkan dengan tangis, satu saudara meninggal. Satu saudara gemetar, dana operasi anak lenyap dilari pelari tak berjejak. Wajahnya kuyup. Tapi masih berusaha menghindar bahwa apa yang ada hanyalah yang tiada dan tidak ada apa-apa. Namun petir kembali, sepupu di dekat kota terkena tifus yang memanjang, terlihat benjolan tulang, kian menonjol. Hujan menderas, hujan menumpah. Kakinya tersandung dan kepala terpentok dan .. satu hal yang kemudian disesali. Pada akhirnya ia tidak berlari dari hujan. Karena ia sadar, tumpahan air itu untuknya, untuk keluarganya, mereka yang dicintai, dan untuk keinginannya yang juga tak mau penuh. Ia buka baju agar basah tubuh, agar kulit, agar daging, agar tulang: terasakan, harus terasakan. Ke manapn mata, terlihat genangan, ke mana melangkah. Maka ia duduk dan menerima.

Hujan ini untuknya. Simpan hindar dan lompatanmu.

Dan apabila jalan ini telah berujung
Selalu akan dimulai jalan yang baru
Seperti kau merasakan peristiwa yang berlari