Tuesday, September 18, 2007
posted by catur catriks at 2:31 PM | Permalink
Cinta dan takut
Cinta keseharian yang belum teraih menuntut sebuah perjuangan yang kadang berlebih untuk mendapatkan, dan karenanya, ia mengisyaratkan sebuah rasa takut akan kehilangan. Takut ketika pada akhirnya engkau membiarkan apa yang kaubutuhkan itu pergi bersama orang lain.
Saya tidak bermaksud menempatkan kata cinta ini pada hubungan antara pria dan wanita. Saya hanya ingin meminjam kata cinta ini dipakai dalam penggambaran situasi keseharian, yaitu pada saat kita berhadapan dengan satu kebutuhan. Karena cinta pada dasarnya diawali dari sebuah kebutuhan. Cinta yang saya maksud adalah ketika kita menginginkan sesuatu, kita bertekad untuk mendapatkan, dan sekaligus kita takut bila apa yg kita ingin itu sampai terbawa oleh orang lain.
Untuk menyukseskan ini, terkadang kita melakukan tindakan berdasar efektifitas situasi. Tindakan yang sebenarnya tidak baik utk diambil. Mungkin ini bisa diartikan sebagai salah satu sisi kepragmatisan kita dalam usaha yang dinamakan memperoleh.
Masih lekat dalam ingatan ketika masih kuliah. Pada sebuah papan pengumuman fakultas terpasang pengumuman pembukaan lowongan penerimaan beasiswa. Karena sebuah kebutuhan untuk mendapatkan beasiswa itu, seorang mahasiswa berpikir untuk mengambil strategi pintas. Agar tidak ada mahasiswa lain yang mengetahui pengumuman itu, maka brosur yang terpasang di sana dicopot. Dengan anggapan semakin sedikit yang mengetahui dan yang mengajukan, maka peluangnya untuk mendapatkan akan semakin terbuka. Pada saat itu ia sedang benar-benar jatuh cinta pada sebuah beasiswa. Dan ia takut, ia akan gagal dan akhirnya membiarkan teman-teman yang lain mendapatkan sementara ia tidak.
Strategi itu membuahkan hasil. Mahasiswa tersebut mendapatkan beasiswa selama setahun. Namun pada akhirnya ia merasa berdosa. Ia memang berhak atas beasiswa itu karena nilai IPK-nya memenuhi syarat dan perekonomiannya pun pantas untuk dibantu tapi ia tidak merasa lega karena usaha untuk mendapatkan tidak fair.
Contoh perbuatan itu adalah salah satu implementasi dari rasa cinta dan takut yang tidak dikendalikan secara dewasa. Mahasiswa itu harus menepikan peluang orang lain dengan mencopot brosur pengumuman. Usaha tersebut merupakan hasil anggapannya tentang efektifitas situasi.
Apakah teman-teman pernah mengambil tindakan yang dianggap efektif walau pada dasarnya salah? Akui saja, pasti pernah!
Di depan mata kita sendiri, dalam kehidupan keseharian, sering menemukan tindakan-tindakan yang beralasan karena cinta.
Karena cinta keluarga, orang-orang harus cepat sampai rumah ketika pulang kerja. Mereka harus berebut kursi bus atau angkot yang akan mengantar. Dengan tiada tenang menunggu datangnya bus di sebuah halte bersama orang-orang yang bertujuan sama. Dan setelah angkutan datang, untuk naik ke bus, apakah kita tahu antrian? Kita bahkan berjubel di pintu masuk ketika penumpang di dalam bus akan turun. Membiarkan mereka kesulitan untuk keluar dari bus dan memaksakan diri kita untuk lebih dulu masuk ke dalam agar mendapatkan kursi yang masih kosong.
Inilah salah satu jalan yang cukup efektif. Walau mungkin pada akhirnya kita mendapatkann kursi itu, tapi sadarkah bahwa kita telah sempat ikut membuat orang lain kesulitan? Kita berebut karena kita membutuhkan kursi kosong dan kita berebut karena takut kursi yang kosong itu akan diduduki oleh orang lain.
Karena cinta pada ladang usaha kita, kita merasa terancam ketika ada seorang teman yang terjun pada usaha yang sama dan karenanya kita takut akan kehilangan pekerjaan kita.
Cinta dan takut, ia bersifat substitusi sekaligus komplementer. Sebuah rasa yang saling menggantikan dan sekaligus saling melengkapi, di saat bersamaan atau beriringan.
Untuk mengetahui karakter diri berkait dengan cinta dan takut, tentu kita tidak bisa mengukurnya ketika kita berada di rumah atau ketika kita berada di tempat ibadah. Kita bisa mengukurnya ketika kita berada di luar. Ketika kita dihadapkan pada situasi-situasi yang bersifat pilihan. Perilaku keseharian adalah salah satu wujud dari watak kita yang sebenarnya. Apakah rasa kebutuhan dan ketakutan kita akan seimbang dengan kedewasaan kita untuk memutuskan dan memproduksi sikap yang bijak atau malah ketakutan dan kebutuhan pada suatu saat berlebih dan menghasilkan keputusan kita yang hanya didasarkan pada efektifitas situasi sementara.
Kita sendirilah yang memilih.