Saturday, October 06, 2007
posted by catur catriks at 4:26 PM | Permalink
Mengapa Aku tidak Menangis?


Tadi, ketika malam menyisakan sepertiganya, seorang pemuda kurus mengikuti qiyamullail secara berjamaah di sebuah masjid pesantren, di lokasi perbukitan.

Waktu yang tidak biasa ia lalui.

Pemuda ini biasa melewati waktu malamnya dengan meringkuk di atas kasur, membenamkan tengkuknya dalam sebuah selimut, terlena dalam dingin dan beratnya mata.

Tapi tidak di beberapa malam terakhir ini. Dia I’tikaf.

Dan pengalaman tadi malam, kini membuatnya resah, menyadari ada sesuatu yang telah melesat dari dada kecilnya.

Pada saat sholat malam itu, sang imam membacakan ayat-ayat begitu panjang dengan mahroj dan tajwid yang sesuai. Mengalun seperti aliran air jernih menyegarkan dahaga. Suasana begitu menyentuh mengharukan, masuk sampai di kedalaman makna. Sebuah keagungan akan Maha Besarnya Alloh seakan turun menyelimuti jiwa-jiwa di dalam masjid.

Di saat yang sama, si pemuda tiba-tiba mendengar teman di satu shaf, menangis tersedu. Dua orang di belakang, nafasnya tersedak-sedak, dan beberapa di antaranya sesunggukan. Suasana miris.

Suara sang imam pun mulai serak, mulai berat dan sesekali terhenti memperbaiki tenggorakannya yang tercekat, seakan juga sedang mentadaburi apa yang dibacanya. Seiring, para makmum semakin banyak yang menangis.

Keagungan Alloh saat itu, mungkin sedang sangat mereka rasakan, hingga jiwa-jiwa mereka luruh.

Di rakaat-rakaat selanjutnya, sesunggukan jamaah smakin terdengar.

Puncaknya ada pada sujud terakhir. Sujud itu begitu panjang. Dan si pemuda kembali mendengar tangis sang imam. Tangis seperti anak kecil yang merasa begitu lemah. Mungkin ia merasa betapa indahnya sujud di sisa malam bersama orang-orang mukmin yang berserah diri, sujud di dinginnya malam pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Mungkin mereka merasakan betapa nikmatnya ....

Tapi tidak demikian dengan pemuda kurus yang berada di tengah suasana itu.

Ia memang merasa haru, tapi ia tidak menangis.

Dadanya memang ikut berdesir, tapi ia tidak meneteskan air mata.

Ia heran, ada apa dengan dirinya?

Apakah hatinya telah bebal, sehingga ia tidak bergetar ketika keagungan firman Alloh dialunkan?

Di sujud panjang itu, ia sedih, sedih karena dirinya tidak bisa menangis.

Di sujud panjang itu, ia gelisah karena tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh jamaah lain.

Saat sholat usai, bergegas ia keluar dari shaf menuju pinggiran teras masjid. Ia berdiri memandang ke depan yang hanya gelap. Samar terlihat di sekitarnya alam perbukitan. Angin tak berhembus. Si pemuda kurus merenung.

Dulu, menangis di sujud malam, pernah ia alami beberapa kali terutama jika didera masalah yang menghimpit. Masalah itu ia pasrahkan semua, ia adukan kepada Yang Maha Menakdirkan. Biasanya, ia akan mengeluarkan air mata berderai-derai.

Tapi kni, ia tidak pernah merasakan kenikmatan itu lagi, pun ketika orang lain justru begitu menikmatinya.

Suara-suara zikir terdengar dari dalam masjid. Pemuda kurus itu menengok ke dalam tapi kemudian kembali memandang keluar, melepas kopiah di kepala.

Hatinya berbisik: Telah menipiskah keimannamu, Catur?

Sambil menyandarkan badan di tiang teras masjid, wajahnya menunduk, membenamkan segala rasa seorang hamba yang tengah kekeringan

.

Dengan ujung telunjuk, ia mengusap mata pelan. Kemudian ia menurunkan jari itu. Dan tiba-tiba ia kaget. Di ujung jari, ia melihat ada air yang tebal menempel.

Air yang menyadarkan, bila dirinya ternyata sedang menangis – tapi entah karena alasan yang mana.