Tuesday, November 07, 2006
posted by catur catriks at 8:16 AM | Permalink
janji

Setiap pagi kubangun, teringat malamnya di mana sering aku menjanjikan pada diri ini untuk memulai hari yang lebih baik esoknya.

Janji untuk mengingat keluarga yang jauh, saudara2 yang terpencar.

Janji untuk tidak menyiakan waktu. Janji bisa hangat bertemu dengan siapa pun.

Janji untuk merangkai masa depan yang aku bayangkan indah, termasuk janji untuk bisa menemukan pasangan yang telah kuhitung.

Selalu saja kutemui hari yang sama.

Di kantor, bertemu dengan tumpukan naskah buku untuk aku edit, untuk dipresentasikan ke atasan. Teman2 yang berlari dengan pekerjaannya, sekat-sekat particy, dan tabung2 komputer.

Di rumah, bila bangun dan bergegas menyiapkan diri, kulalui ruang yang pengap dan variasi suasana yang beku.

Berangkat ke kantor, hanyalah ada pemandangan tembok dan atap2 rumah penduduk.

Dan sama saat pulang.

Saat malam untuk beristirahat, kubayangkan lagi sebuah janji yang telah kulontarkan pada malam sebelumnya.

Banyak yang menemui ruang kosong. Banyak yang menguap. Janji untuk menghubungi keluarga terlupa-lupa, janji untuk segalanya, beberapa tak memuaskan.

Ya, tempat untuk kembali adalah kontrakan dan kasur pembaringan di mana di sana akan terpikir ulang segalanya. Membosankan.

Tapi memang harus aku jalani, karena inilah sementara kemampuanku dan kesadaran akan ketetapan Tuhan atas kesanggupanku berjuang.

Bila semua yang aku miliki dan laksanakan sekarang adalah titipan dari-Nya, maka apakah aku baik jika berat mengembankannya?

Setiap orang pasti akan menemukan titik jenuh pada suatu saat, betapa pun menariknya kehidupan pada awalnya dan betapa pun bergairahnya dalam perjalanan awal.

Tapi bagaimana dengan janjikku yang selalu terngiang menjelang tidur dan teringat kala paginya?

Mungkin yang perlu aku tingkatkan sekarang adalah berusaha menghilangkan gelisah. Menguatkan kegoyahan kaki yang gampang membelok pada wilayah yang mubah dan percuma.

Mungkin adalah satu suntikan semangat untuk kembali memperbaiki pandangan dan tekad yang telah merapuh.

Kembali pada semangat bertarung, duh sepertinya ini berlebihan, dan memenuhi satu rindu untuk mendapatkan senyumnya hati.

Teringat waktu masih mahasiswa, betapa rencana tersusun begitu hebat, planning sebuah perjuangan yang telah kugagas dengan mantap. Kuikuti seminar-seminar manajemen, kubaca buku-buku tokoh dunia, hingga tampak aku seperti orang gila dengan semangat yang menggunung, tapi semua itu menggelepar setelah aku lulus.

Pun sekarang, berangkat kerja dengan semangat, mendapatkan ide di kantor dan ide itu kemudian terkapar setelah sampai rumah. Jari kaku di atas keyboard.

Kupahami dalam diriku, bahwa aku tak bisa memelihara secara continue. Hatikku begitu gampang terbolak-balik. a dan n, r dan l, enam dan delapan, hanya berkumpul pada susunan acak. Tidak bisa menyusun secara matematis.

Janjiku menguap

Janjiku adalah sebuah hiburan agar aku bisa tidur dengan nyaman

Perpanjangan waktu, penambahan tenaga, sehat, dan sempat tak termanfaatkan maksimal. Aku tak pernah mengenal percepatan.

Bila janji menjadi tiada, apakah aku masih bisa menghibur diri, bahwa hidup tak harus neko-neko?

Bila janji menjadi tiada, apakah aku harus menerima penilaian orang bahwa hidup tak kupahami sebagai medan perjuangan?

Setulus apakah keinginanku untuk mendapatkan titipan dan menjalankannya, meminta dan mencarinya, mensyukuri atau mengurangkannya, membagi atau memiliki sendiri, mungkin akan menjadi sebuah kiblat.

Sementara, berubah, zig zag, atau abadi menjadi tidak penting. Kalau boleh demikian, berair mata adalah bukan sebuah pertahanan dan jalan kelegaan sesaat. Maka aku berkewajiban untuk membuat jawaban.

Bila berlari tidak lebih baik daripada duduk, bila sekarang atau besok bukan sebuah tingkat, bila hitam dan putih bukan sebuah blok, maka aku tak perlu membuat pilihan.

Hanya saja, janjiku akan terus kubangun, dan semogaku bukanlah mantra, melainkan bunga-bunga yang merangkai taman!