Monday, November 06, 2006
posted by catur catriks at 8:22 AM | Permalink
Hanya sedikit di antara yg banyak

(Kutuliskan ini, sebagai kesan setelah kurang lebih satu minggu, berlebaran bersama keluarga Mbakku.)

Wanita hidup untuk berbahagia dengan cinta,
sementara lelaki mencintai untuk hidup berbahagia. Begitukah?

Sepertinya tidak cukup itu, ada banyak laki-laki maupun perempuan yang mengenal tengah-tengahnya, di antara cinta dan bahagia. Kompleksitas senantiasa dihadapi. Tapi alangkah suksesnya apabila kesemua-semuanya berlabuh pada tujuan satu, bahagia.

Keluarga mbakku mungkin tidak sebahagia yang dapat aku lihat dari luar. Hanya saja harus aku sadari, apa pun yang terjadi akan selalu terpancar ke luar, apalagi bila itu berasal dari hati.

Rasanya baru kemarin dia menikah, sekarang sudah berputra dua. Imad Akil Mafaza yang pertama. Kau kah keponakanku yang pertama? Bila iya, tolong jangan panggil aku kakek. Keriput di pipi dan kaca mata yg kusandang menipu. Jangan juga jadi anak nakal. Kamu pernah menulis mata adikmu yang ketika itu masih bayi dengan pena hingga matanya berdarah-darah. Untung tidak apa. Jadilah power rangers yang baik hati.

Kau beradik, tapi maaf, aku hanya ingat nama panggilannya, Zaid. Hei, murah sekali senyumnya, baru berusia dua tahun, tapi kau sudah begitu banyak beramal, walau hanya sekedar senyum. Hanya karena saking banyaknya tersungging, kadang om mu ini bingung, senyummu tulus apa senyum menahan pipis di kantung pampersmu.

Ok, om mu tak sering melihat kalian. Pertama kali Mafaza lahir, aku hanya menungguimu di pekanbaru selama satu bulan. Sedangkan Zaid, bisa kulihat setelah kau berusia dua tahun. Aku ingin kalian tahu, keponakan bagiku laksana anak sendiri. Tentu setelah kalian pulang lagi ke sana, ada sesekali rindu yang terasa berat. Tapi tenanglah, kalian bersama umi dan abi yang insyaAlloh bisa mengemban amanah, membesarkan kalian, menganakshalehkan kalian. Berbahagialah dilahirkan oleh dia.

Well, sekarang kalian minggir dulu. Aku akan membicarakan umi dan sedikit abi kalian.

Aku akan memanggilmu Umi, kakakku, seperti halnya Mafaza dan Zaid memanggilmu. Karena engkaulah anak pertama yang akan menjadi ibu pengganti apabila mama kita meninggal kelak. Semoga beliau panjang umur dengan memanjangkan ibadah. Amin.

Umi, pernahkah kau mengeluh? Suamimu yang berkewajiban memberi nafkah bagi keluarga tidak juga bekerja?

Pernahkah kau mengeluh mengenai beban menanggung dua anak sekaligus suami dalam hal ekonomi?

Umi, banyak kasus, perceraian terjadi ketika gaji istri lebih tinggi daripada gaji suami. Tak sedikit istri minta cerai manakala suami tak lagi sanggup memberi nafkah. Kalaupun tidak, si istri akan besar kepala dan bertingkah laksana pemimpin dalam keluarga. Apakah itu tak terpikir? Apa yang kau inginkan?

Aku punya anggapan, bahwa seorang wanita dalam hidupnya hanya menginginkan untuk menikah. Setelah bersuami, wanita menginginkan segala-galanya. Seperti halnya, sewaktu wanita dan pria membina hubungan. Pria banyak bicara dan wanita mendengarkan. Setelah menikah, wanita terlampau banyak bicara dan banyak tetangga yang mendengar.

Pernahkah Umi seperti itu?

Hmm, pertanyaan retorik. Karena aku tahu jawabannya.

Umi tetap mempertahankan keluarga seperti tak terjadi apa-apa. Umi tetap memuliakan suami seperti halnya yang pernah engkau janjikan dulu dalam peristiwa penyatuan. Engkau tetap mendudukkan suami sebagai nahkoda keluarga.

Aku tidak ingin memujimu lebih banyak. Ini akan membosankan. Aku hanya ingin menegaskan bahwa dalam diri ini, telah tercatat sebuah penilaian, bahwa kau sangat dekat, begitu erat dengan sebutan istri salehah. Tentu dengan atribut tingkah laku, sikap, perkataan yang sering membuatku haru. Aku ingat waktu pertama kali kau sampai di kampung. Aku mendengar kau mengucapkan ayat-ayat Al quran, di tengah rasa capek, di saat salah satu anakmu berada dalam gendongan. Aku juga teringat, ini pernah aku tulis di postingan sebelumnya, waktu itu aku mengantarmu, bertahun-tahun yang lalu, pergi merantau ke Sumatra. Bibirmu tak henti-henti melafalkan Bismillah. Dulu aku memahami bahwa Umi berlebihan. Tapi ternyata tidak. Kau menginginkan agar kepalamu senantiasa ingat dengan bibirmu yang mengucap. Menghatikah?

Ya, kau pernah menangis waktu menyarankan aku untuk berhenti merokok. Bahkan setiap bulan kau membantuku pada saat aku masih kuliah. Ini implementasi.

Kemarin, aku mencoba untuk sedikit menyenangkanmu, memberi uang dengan maksud untuk menambah saku transport pulang, karena tiket pesawat mahal. Kau bilang cukup. Kupaksa dan kau terima, tapi mengapa juga uang itu akhirnya kau berikan ke mama? Aku tahu kau pulang dengan uang yang pas2an, karena suamimu tak bekerja. Tapi, yah, aku jadi semakin tahu, siapa Umi.

Bisakah aku mendapatkan wanita sepertimu, dengan wajah yang sedikit lebih cantik? Hehehe. Umi, apakah kau tahu, adikkmu jauh sekali dari teladanmu.

Wanita adalah bintang dan pelita bagi lelaki.
Tanpa pelita, lelaki bermalam dalam kegelapan.

Bila kau bintang dan pelita bagi suami dan keluarga maka tetaplah dalam posisimu. Dan bila kau bersedia, tolong carikan satu pelita yang lebih terang buatku, ya Umi? Gelap banget di sini (sambil memegang dada, dada punya sendiri tentunya).

Maaf, adikmu mulai kurang ajar.

Aku begitu mengharapkannya. Memperoleh teman yang kucintai yang karena cintanya menambah cintaku pada-Nya. Aku begitu mengharapkan seorang bagai pelita yang karena sinarnya mampu menerangi jalanku untuk mendekat pada-Nya.

Baik, apa lagi yang perlu kututurkan?

Aku ingin berpesan, o maaf, berharap agar Umi benar-benar bisa menjadi istri yang shalehah. Menjadi perhiasan terindah dalam dunia. Tetaplah, jadikanlah suamimu sebagai pemimpin. Muliakanlah ia. Karena ada istilah:

Pudarlah kebahagiaan seorang wanita jika ia tidak mampu
menjadikan suaminya teman yang termulia.
Memuliakan suami berbanding lurus dengan memuliakan diri sendiri.

Semoga dia cepat mendapatkan dan atau bisa menciptakan pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaan sebelumnya, walau aku tahu, materi bagimu bukan tujuan, walau itu penting. Bagimu yang utama bagaimana menikmati sesuatu yang telah dirizkikan.

Dampingilah dengan setia suami, karena sekarang ia diamanahi untuk menjadi ketua dpc. Oya, suamimu pernah bilang begini dalam candaannya: umat aja dilayani, apalagi pada suami ?

Ya, Umi, salah satu peranmu adalah melayani umat, menjadi murabi yang mengajarkan agama kepada para ihwah, padat dgn kegiatan2 sosial, selain profesimu menjadi kepala sekolah di sd Islam terpadu. Bukan suatu hal yang besar, karena dunia akan memandangnya kurang, tapi yang membesarkan adalah keikhlasan dan keistiqomahanmu, Umi. Hehe, maaf, aku seperti memberi garam pada air laut.

Hemm, lebaran kemarin sebenarnya aku ingin berlama-lama di kampung atau bila bisa ikut pulang bersamamu ke pekanbaru. Aku sudah mulai jenuh hidup sendiri di bogor, walau sudah kucoba untuk memperbanyak repot dan sibuk.

Ada, sepertinya, sesuatu yang kurang.

Pelita-kah itu, Umi?