Monday, February 26, 2007
posted by catur catriks at 8:02 AM | Permalink
Bebalkah hati kita?
- Maaf, Pak, bisa geser sedikit?

Seorang pemuda meminta kursi kepada seorang penumpang yang lebih dulu duduk di bangku yang diset untuk dua orang. Penumpang pertama, seorang bapak, nampaknya sudah duduk sejak awal sebelum pemuda ini naik.

Bapak itu menggeser tubuhnya dengan enggan, bahkan sepertinya ia nampak kecut. Ia memandang si pemuda yang meminta tempat tersebut dengan separuh mata. Padahal ia tahu, bahwa kursi bus itu untuk dua orang. Mengapa ia berniat untuk mengukuhi sendiri? Badannya yang tambun bukan berarti ia harus memonopoli tempat, kecuali jika dia membayar untuk dua kursi, mungkin ini urursanya lain, walau tak sepenuhnya benar.

Sempat saya membayangkan, jika bapak itu menjawab: Oya, mangga, silakan! Kemudian ia menggeser tubuhnya tanpa ragu sehinga penumpang yang lain mendapat tempat duduk yang sama dengannya. Lebih lanjut, seandainya si bapak bertanya – walau mungkin untuk basa-basi – dengan muka yang senyum: Mau ke mana, Dhe?

Aku kira, melakukan hal tersebut tidaklah sulit. Kehangatan itu akan membuat penumpang yang disapa merasa lebih nyaman duduk di sampingnya.

Kita sering menemukan muka-muka yang kaku melenggang di jalan atau di keramaian. Kita juga menemukan kezaliman-kezaliman yang tidak disadari seperti contoh di atas.

Seorang ibu yang dompetnya banyak receh, tiba-tiba tertidur manakala melihat ada pengamen kecil naik bis yang sedang ia tumpangi. Kupahami, tindakan seperti itu bukan semata-mata karena tidak ingin memberi, tapi sudah jelas-jelas merasa jijik dengan kedatangan pengamen itu.

Saudaraku, untuk apa harta yang sedikit itu kita kukuhi sendiri, sedang membelanjakannya dalam amal akan melipatgandakannya? Jangan sampai karena harta, hati kita menjadi keras, tak pernah gemetar bila mendapat kesempatan untuk berbuat baik.

Seorang teman pernah tersinggung ketika ada yang menyuruhnya untuk sholat.
- Sholat gak sholat adalah urusanku! Astaghfirulloh. Hati yang membatu akan sangat sulit menerima sentuhan Illahiyah. Bila datang kepadanya sebuah kebenaran, sama sekali hatinya tak berdesir.

Kebenaran, saudaraku, jika boleh bertutur, tidak selalu datang dari orang yang lebih pandai, ustad, atau ulama. tapi terkadang ia datang dari orang yang kita anggap – mungkin – polos dan rendah. Jika adik kita menunjukkan kebaikan dan kita tersinggung karena merasa digurui, maka hati-hatilah. Terkadang penyakit hati hinggap tanpa kita sadari.

Jika kita menemukan teman yang tiba-tiba berubah menjadi lebih alim, kita mencibir: Uh, sok alim!

Tanyakan pada diri, kita sendirikah yang munafik? Seharusnya kita ikut senang dengan perubahan yang demikian.

Tanpa disadari mungkin kita pernah melakukan hal-hal seperti itu. Merasa kecut bila ada orang yang meminta duduk di sebelah kita, sedang tempat yang tersedia terbatas, pernah merasa terganggu tatkala ada pengamen menemui, pernah merasa tersinggung saat orang yang lebih yunior menyampaikan kebaikan kepada kita.

Mari cepat-cepat kita menyadarinya untuk kemudian tidak melakukan kebodohan yang sama.

Mari, lembutkan dan lapangkan hati sebisa-bisa melapangkan, jangan sampai kita menyimpan penjara di dalamnya yang kita sendiri tidak menyadari keberadaannya.

Ceriakan hati dan senyum apabila ada kebaikan yang datang menemui. Berikan kesempatan pada tangan kita untuk bisa melakukan hal yang bermanfaat.

*Terutama ajakan untuk diri sendiri (tulisan ini pernah dimuat di kotasantri.com pada kolom refleksi)