Seorang pemuda meminta kursi kepada seorang penumpang yang lebih dulu duduk di bangku yang diset untuk dua orang. Penumpang pertama, seorang bapak, nampaknya sudah duduk sejak awal sebelum pemuda ini naik.
Bapak itu menggeser tubuhnya dengan enggan, bahkan sepertinya ia nampak kecut. Ia memandang si pemuda yang meminta tempat tersebut dengan separuh mata. Padahal ia tahu, bahwa kursi bus itu untuk dua orang. Mengapa ia berniat untuk mengukuhi sendiri? Badannya yang tambun bukan berarti ia harus memonopoli tempat, kecuali jika dia membayar untuk dua kursi, mungkin ini urursanya lain, walau tak sepenuhnya benar.
Sempat saya membayangkan, jika bapak itu menjawab: Oya, mangga, silakan! Kemudian ia menggeser tubuhnya tanpa ragu sehinga penumpang yang lain mendapat tempat duduk yang sama dengannya. Lebih lanjut, seandainya si bapak bertanya – walau mungkin untuk basa-basi – dengan muka yang senyum: Mau ke mana, Dhe?
Aku kira, melakukan hal tersebut tidaklah sulit. Kehangatan itu akan membuat penumpang yang disapa merasa lebih nyaman duduk di sampingnya.
- Sholat gak sholat adalah urusanku! Astaghfirulloh. Hati yang membatu akan sangat sulit menerima sentuhan Illahiyah. Bila datang kepadanya sebuah kebenaran, sama sekali hatinya tak berdesir.
Jika kita menemukan teman yang tiba-tiba berubah menjadi lebih alim, kita mencibir: Uh, sok alim!
Tanyakan pada diri, kita sendirikah yang munafik? Seharusnya kita ikut senang dengan perubahan yang demikian.
Mari, lembutkan dan lapangkan hati sebisa-bisa melapangkan, jangan sampai kita menyimpan penjara di dalamnya yang kita sendiri tidak menyadari keberadaannya.
*Terutama ajakan untuk diri sendiri (tulisan ini pernah dimuat di kotasantri.com pada kolom refleksi)