Tuesday, September 05, 2006
posted by catur catriks at 7:13 PM | Permalink
catatan hati
Aku dilahirkan di karang jambe, wanadadi, banjarnegara, jawa tengah.

Dari keluarga petani yang serba kekurangan.

Tapi aku sangat beruntung, orang tuaku mengedepankan pendidikan anak-anaknya.

Walau ibu saya tidak tamat dari sekaolah SR.

Sedang ayahku memang pernah sekolah, tapi hanya beberapa hari saja. Ia tidak bisa membaca.

Dalam masyarakat, orang tuaku dipandang bodoh.

Tapi pada akhirnya mereka kagum oleh kegigihan orang tuaku menyekolahkan anak2nya.

Banyak cerita dan kepedihan yang mereka jalani untuk itu.

Mungkin lain kali saja aku menceritakannya.


Yang akan aku ceritakan padamu,Halamanku, adalah kata-kata Ibu tadi pagi.

Pada saat aku kecil dan mogok sekolah, ayahku marah.

Beliau mengambil belahan kecil dari bambu dan menyabetkannya berkali-kali ke kakiku.

Sambil menyabetkan bambu itu, ayah sesekali berseru:

mau jadi anak bodoh apa, kayak bapak ini, ha?!!!

Aku menangis dan terguling di tempat tidur.

Ibu datang dan memelukku.

Kemudian beliau menyiapkan sarapan untukku.

Ya, saat itu kupahami, itu sudah menjadi tugas ibu untuk menenangkan hati anaknya.

Pada saat aku terbaring di tempat yang penuh dengan aroma obat, aku merengek minta pulang dan menyuruh ibu untk meminta ijin kepada dokter. Ibu menahanku dengan kata-kata yang lembut.

Pada malam hari badanku menggigil. Ibu memelukku erat. Pagi hari kuterbangun. Ibu masih tertidur di sampingku. Ada sisa air mata dan urat wajah yang lelah. Mungkin beliau tanpa istirahat menjagaku sepanjang malam.

Kupahami, itu sudah menjadi tugasnya, merawat dan menjaga anaknya yang sedang sakit.

Setiap hari, sebelum dan sepulang sekolah, ibu selalu menyediakan sarapaan dan makan siang untukku. walau pada akhirnya aku makan atau tidak, ibu tetap saja menyediakannya untukku.

Saat itu kupahami bahwa itu telah menjadi kewajiban seorang ibu untuk menyediakan kebutuhan anaknya.

Pada saat aku mulai kuliah di luar kota, ibu mengiringiku dengan sebuah doa: Bismillah.

Bahkan pada suatu malam, pada saat keningku sedikit berkerut, aku seperti melihat ibuku yang terbangun tengah malam dan bertahajud, berdoa agar anak-anaknya diberi kemudahan jalan.

Ya, aku menilai, salah satu tugas seorang ibu adalah mendoakan anak-anaknya.

Pernah suatu ketika aku pulang dari kuliah dengan mendadak di luar jadwal dari biasanya. Orang tuaku kaget karena aku meminta kepada mereka sejumlah uang yang tidak sedikit.

Karena belum punya uang, aku tahu waktu itu, ibuku terdiam bingung, duduk menyangga dagu dengan kedua tangannya.

Pada akhirnya ia memutuskan untuk menjual sesuatu yang berharga.

Tapi bukan harga dalam nominal yang jadi masalah. Sesuatu itu sangat berharga bagi keluarga

Aku sempat terharu

Tapi maaf ibu, lagi-lagi aku beranggapan bahwa itu sudah menjadi tugas sebagai orang tua untuk melancarkan pendidikan anaknya.

Kini aku telah bekerja dan jauh darimu. Rindu tentu senantiasa datang.

Tapi terkadang kesibukan menyebabkan sedikit lupa untuk sekedar menelpon dan menanyakan kabar.

Hingga kemarin ibu memberitahukan bahwa ibu dan bapak mempunyai sebuah rencana. Aku pikir, ya, syukurlah.

dan walau ibu tak mengatakan, tapi aku tahu ia membutuhkan sesuatu.

kucoba untuk memenuhinya karena itu enteng buatku.

Persis tadi pagi, ibu mengatakan lewat telpon, aku telah membantu melancarkan rencananya. Dan pada akhir kalimat beliau mengucapkan kata yang begitu mengagetkanku:

Terima kasih, ya!

Aku tercekat dan tiba2 aku mengatakan serentetan kata yang aku sendiri tidak mampu mendengarnya dengan jelas.

Aku pikir pada saat itu lidahku terpeleset-pleset, lalu diam.

Ibu, tiba-tiba ananda merasa malu.

Untuk semua perlindungan kasih yang engkau berikan.

aku tak pernah mengucapkan terima kasih.

Untuk semua doa yang kau panjatkan untuk kemudahan jalanku

aku tak pernah mengucapkan terima kasih

Untuk semua usahamu agar kuliahku selesai

juga aku tak pernah mengucapkan kata itu kepadamu.

Untuk itu ibu, akan ananda maknai semua itu semampu ananda.

Dan bahwa kemarin yang aku lakukan, pahamilah ibu, adalah sebuah kewajiban anak kepada oang tuanya walau mungkin itu hanya seujung kuku. Aku tak akan mampu membalas sedikit apalagi banyak.

Maka itu ibu, lain kali jangan ucapkan terima kasih lagi

ananda malu di hadapan Tuhan.

Kecuali jika ibu ingin mengajariku untuk bisa mengucapkan kata itu.

Terima kasih ibu.

(Aku tahu, keluarga kita keluarga yang serba kekurangan, maka seharusnya aku juga tahu, perjuangan kalian untuk anak-anakmu begitu besar. Sungkem dari Ananda Ibu)

 



2 Comments:


At 3:46 PM, Blogger ~albazrah~

Terima kasih, posting ini sungguh menginsafkan saya. Selepas pulang dari library nanti saya akan telefon ibu saya segera.

 

At 1:24 PM, Anonymous Anonymous

terima kasih telah berkunjng ke halamanku, jazakillah