Banyak orang yang mengerutkan kening ketika ia dihimpit kekurangan harta.
Di bawah atau di atas, semua akan berlalu dan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
Mungkin yang penting adalah bagaimana diri kita menyikapi.
Apakah sabar dan istiqomah tetap bersebadan ketika kita terpuruk di bawah?
Tidak menistakan diri dan tidak menistakan keimanan?
Apakah kita tetap akan rendah hati dan bersahaja ketika berada pada kelimpahan?
Tidak meriyakan diri dan pandai menyimpan dada. Bermurah hati dan bersyukur?
Kecukupan memang bukan tujuan utama atau final. Walaupun kecukupan berdiri pada posisi yang dominan pada pengharapan manusia.
Dan kekurangan bukan takdir yang permanen apabila kita mau mendekatkan ikhtiar dan doa.
Memang kita tahu, doa bisa turun dengan caranya sendiri.
Banyak doa yang turun dalam bentuk sesuai keinginan.
Tapi banyak juga doa yang ditangguhkan karena kata-kata yang kita panjatkan berhenti sebelum mencapai langit.
Bagaimanapun, doa adalah sebuah kekuatan.
Tak heran bila ada seorang pendoa yang mengatakan demikian:
Aku berdoa agar hidupku diberi kemudahan jalan.
Tapi Tuhan memberiku aneka beban yang harus kutanggung.
Ketika aku berdoa agar diberi kelapangan rezeki.
Tuhan menghimpitku dengan berbagai derita.
Ketika aku mendambakan cinta.
Kutemui orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
Aku tidak pernah mendapatkan apa yang aku minta.
Hingga pada suatu saat, malam mengajakku untuk bermuhasabah.
Aku baru tersadar, aku telah berhasil menghadapi itu semua.
Tuhan memang tidak memberi apa yang aku minta, tapi Tuhan memberi apa yang aku butuhkan.
Dan itu berarti, doaku terkabul sudah.
Kecukupan harta bisa menunjang kita untuk memenuhi berbagai seruan ibadah. Haji, misalnya.
Dan sebaliknya, kekurangan harta memudahkan beberapa penyakit untuk hinggap di hati.
Tapi pahala tidak diukur dari seberapa besar harta kita yang didermakan, bukan?
Pahala dihitung dari keikhlasan dan besarnya pengorbanan.
Seribu bagi orang kaya berbeda dengan seribu bagi orang miskin yang pendapatannya sepuluh ribu per-hari. Sepuluh ribu yang harus dibagi dengan kebutuhan keluarganya.
Bila ikhlas, mungkin si miskin akan mendapat pahala yang berlipat.
Ikhlas merupakan kunci diterimanya ibadah, tapi kita sekaligus tahu, ini merupakan hal yang sangat berat.
Si Fulan bersedia menyumbang karena didatangi RT.
Kita sholat dengan terlihat khusu karena ada teman yang memerhatikan.
Perlu direnungkan istilah: ketika tangan kanan memberi, hendaknya tangan kiri tidak sampai mengetahuinya.
Menyembunyikan kebaikan karena ikhlas dan takut riya.
Seorang sufi pernah berkata:
Aku beribadah hanya karena Alloh.
Jika aku beribadah karena takut neraka,
Maka lemparlah aku ke dasarnya.
Dan jika aku beribadah karena mengharapkan surga,
Maka tutuplah rapat-rapat pintunya untukku.
Alloh memang menjanjikan surga untuk orang2 yang berada pada jalan yang lurus.
Pertanyaan yang paling mendasar: apakah kita akan tetap beribadah ketika tidak ada sesuatu yang dijanjikan?
Untuk menjawab secara lengkap, kita perlu menambah banyak ilmu. Hanya orang bodoh yang akan menjawab dengan cepat. Karena ini tingkatan yang lebih tinggi.
Tingkatan yang lebih merumput adalah keikhlasan kita untuk mengamini nasib ketika ia tidak begitu sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Dan banyak orang yang menyalahkan keadaan dengan berbagai alasan.
Kekurangan atau kelebihan yang menghampiri hidup kita, hendaknya diambil hikmahnya dengan menghadapi dengan ikhlas dan ridha.
Saran yang baik adalah:
Jangan meratapi hidup. Karena peduli atau tidak, kehidupan akan terus berjalan. Cukup ridha-lah dengan apa yang Alloh berikan untukmu.
Mencapai kecukupan harta bisa mendatangkan sukses.
Tapi mencapai ikhlas dan ridha jauh lebih bahagia dari sekedar kata sukses.
Wallohhu alam bissawab.
Jika kita 'benar-benar' menginginkan sesuatu, kita akan mendapatkannya. Jika kita tidak mendapatkannya, berarti... keinginan kita mungkin tidak 'sebesar' itu.
:hanny