Memasuki masa baru dari peraturan pemerintah, buku pelajaran sekolah akan diperbarui setiap lima tahun sekali seiring dengan bergantinya kurikulum. Berarti setiap rentang waktu itu hanya sekali pekerjaan penerbit untuk melakukan revisi atau pengembangan terhadap materi buku. Dan mengenai revisi ini, sebenarnya bisa diselesaikan dalam waktu setahun atau molornya, dua tahun. Tiga tahun tersisa? Kosongkah?
Tentu kalangan penerbit mengambil ancang-ancang untuk ini, mulai tahun ini. Penerbit yang memunyai karyawan (editor) banyak akan lebih berpikir bagaimana dalam waktu itu tidak terjadi kekosongan pekerjaan editor. Penerbit tidak mungkin menggaji para editornya yang hanya datang ke kantor tanpa bekerja. Atau penerbit akan menghitung beberapa kali untuk mengangkat karyawan baru menjadi pegawai tetap. Tujuannya mungkin untuk menghindari penumpukan karyawan tanpa kecukupan/ketersediaan pekerjaan.
Hal ini terjadi pada tempat saya bekerja. Pengerjaan untuk buku-buku pelajaran sebentar lagi selesai. Jika selesai, maka dalam waktu beberapa tahun ke depan pekerjaan editor kosong, sampai pada adanya perubahan kurikulum lima tahun mendatang. Untuk menanggapi situasi yang dihadapi tersebut, salah satunya penerbit terpaksa (?) tidak mengangkat para editor yang telah dikontrak/masa kontraknya habis untuk menjadi karyawan tetap. Ada beberapa teman yang telah dikontrak selama satu tahun, begitu kontrak selesai, sementara pekerjaan masih ada, ia dikontrak kembali selama enam bulan tanpa adanya kejelasan apakah setelah enam bulan ke depan ia akan diangkat atau tidak.
Ini bukan kebiasaan di perusahaan tempat saya bekerja. Biasanya perusahaan akan mengontrak karyawan (editor) selama enam bulan pertama. Selama/setelah itu ada penilaian apakah ia berkompetensi untuk menjadi karyawan tetap atau tidak. Jika iya, maka ia akan diangkat, tapi jika selama enam bulan hasil pekerjaannya kurang sesuai, ia akan dipersilakan untuk mencari pekerjan lain.
Kembali, pekerjaan untuk pengeditan buku pelajaran sebentar lagi akan selesai. Penebit mulai berpikir untuk mencari incaran lain.
Maka sekarang, meliriklah penerbit-penerbit buku pelajaran pada buku pengayaan. Yaitu buku-buku penunjang buku pelajaran seperti ringkasan materi, latihan soal dan pembahasan, ensiklopedi untuk jenis-jenis mata pelajaran, bank soal, dan lain-lain.
Tapi perlu disadari, lahan pekerjaan ini tak semelimpah buku pelajaran.
Perburuan pun dimulai. Penerbit memasang iklan di media terkemuka. Penerbit membutuhkan naskah-naskah buku pengayaan dari SD-SMA. Penerbit mencari penulis. Anehnya kebutuhan akan hal ini tidak diketahui oleh para editornya sendiri. Tidak ada pemberitahuan dari perusahaan. Para editor tidak mengetahui bahwa ditempat mereka bekerja sedang dibutuhkan sejumlah naskah.
Lantas, apa yang dipermasalahkan?
Dalam masa kerja beberapa tahun, seorang editor di bidangnya sebenarnya telah begitu berpengalaman dalam pengerjaan naskah buku. Dalam beberapa kasus, seorang editor kerap kali merombak 50-60 persen naskah dari penulis untuk dipersiapkan menjadi naskah yang layak terbit. Bahkan untuk buku pelajaran SD, sering ada yang merombak sampai 90 persen. Dan tetap nama penulisnya dipertahankan sedang nama editor tetaplah ditulis sbagai editor bukan sebagai orang yang ikut menyusun. Ironis.
Dengan demikian sebenarnya editor mampu – secara pribadi – untuk menyusun sebuah naskah yang layak diterbitkan. Ya, editor MAMPU!!!
Jadi?
Jadi mengapa penerbit harus mencari penulis dari luar? Mengapa penerbit tidak memberdayakan tenaga-tenaganya (editor) untuk diberi kesempatan menulis? Ingat, pada waktu-waktu ke depan akan banyak editor yang kekurangan pekerjaan. Apakah karena penerbit mencari penulis yang terkenal dengan gelar tinggi S2 atau S3? Karena nama2 itu bisa mendongkrak penjualan? Tapi toh yang sudah-sudah, naskah yang datang ke penerbit selalu masih berantakan. Tidak jaminan gelar tinggi menghasilkan karya yang bagus.
Ada baiknya perusahaan membentuk semacam tim ahli dari para editor pada bidang disiplin ilmunya masing-masing. Tim ahli yang berkompeten untuk menyusun naskah-naskah buku yang diperlukan. Jadi beberapa editor berkompeten diberi kesempatan untuk menulis dan editor-editor baru yang kemudian mengedit dan menyempurnakannya. (sepertinya sudah ada beberapa penerbit yang melakukan usaha ini, penulis = editornya sendiri.)
Dengan demikian pekerjaan editor menjadi banyak. Kemungkinan perusahaan menggaji editor yang tidak bekerja pun sedikit. Selain itu usaha ini juga bisa diartikan sebagai pengembangan kemampuan bagi para karyawannya. Dan ada juga kemungkinan perusahaan untuk mengangkat editor menjadi karyawan tetap tanpa harus mengontrak mereka terlalu lama.
Nah, mengingtat hal ini, di manakah daya tawar editor?
Mengapa editor tidak diberi kesempatan?
Apakah editor harus diam-diam menulis dengan memakai nama orang lain yang sudah bertitel tinggi dan terkenal, kemudian dikirimkan ke penerbit tempatnya bekerja?
Hhh, tentu saja ini nampak jalan yang lumayan, tidak lucu!