Saturday, February 04, 2006
posted by catur catriks at 3:15 PM | Permalink
crita satoe
Randu, Sainganku
Saya mempunyai saudara sepupu. Dia sepantaran denganku, tapi kami belajar di sekolah yang berbeda di kecamatan yang berjauhan. Walau tempat tinggal kami masih dalam satu kabupaten. Persaudaraan kami begitu dekat, kami pun seringkali saling berkunjung. Selain itu, dan ini yang penting, kami mempunyai hobi yang sama, badminton. Dan pada masalah hobi ini, walaupun kami sering melakukannya berbarengan, tapi pada sesungguhnya kami saling memendam persaingan, di hati kami masing-masing.
Sepupuku itu bernama Randu. Aku tidak tahu arti nama itu. Aku hanya tahu kalau kata Randu adalah nama sejenis pohon kapas. Oleh karenanya, sangat tidak mungkin kalau nama sepupuku itu berarti pohon kapas. Tapi bagaimana kalau itu benar? Tentu lucu sekali, khan?
Kata kakaknya, mas Jati, dia termasuk anak yang tidak disukai oleh teman-teman sekolahnya. Randu anak yang sombong. Tapi itu menurut mereka dan aku tidak percaya. Di mataku dia anak yang pemberani, tangkas, dan – ini yang membuatku iri – ia anak yang berprestasi. Berulang kali randu menjuarai lomba badminton tingkat kecamatan. Sekarang dia sedang mempersiapkan diri untuk berlaga di tingkat kabupaten.
Demikian juga dengan aku. Tahun ini aku akan mengikutilomba tersebut. Karena hal inilah, kami sepakat untuk bersaing. Tentu bersaing untuk merebut kemenaangan.
Bila kami berlatih badminton bersama, walau sebenarnya kami lebih dari sekedar itu. Karena sesunggunhya kami bukan berlatih, tapi BERTARUNG! Ya, ibarat dua pendekar silat yang baru turun gunung dan bertemu untuk mengadu kesaktian. Salah satu harus ada yang mengaku kalah. Jika belum, maka pertarungan akan terus berlanjut, sampai kedua pendekar tersebut kehabisan tenaga. Bukan bermaksud melebih-lebihkan, tapi begitulah adanya kami.
Pernah suatu haru Minggu aku datang ke rumahnya untuk mengajaknya bertarung. Dan kami langsung berangkat ke gedung olah raga kecamatan yang letaknya tak jauh dari rumah Randu. Tepat pukul sepuluh pagi kami mulai. Aku dengan raket terbaikku dan dia juga menggunakan raket terbaiknya.
Set pertama aku kalah. Skor 13-15. Dia mengejekku.
“Hah, … jadi sayur kau!” katanya. Aku diam saja karena aku tak tahu maksudnya. Mungkin ia hendak mengatakan aku lemah.
Set kedua mulai. Servis pertama darinya yang terlalu tinggi dan dekat dengan net langsung aku sambar. Bola bulu itu meluncur jatuh tepat di bawah kakinya.
“Wah smash-mu lumayan juga!” Dia mengakui.
“Itu belum seberapa, kau akan melihat smash-ku yang lebih tajam.” Aku menyombombongkan diri. sekedar untuk memulihkan mentalku untuk bertarung. Dan benar, semangatku kembali. Kini aku sudah jauh meningggalkanya. Nilaiku 10 sementara dia baru mendapat 6.
Tapi kini dia kelihatan lebih hati-hati. Gerakan mengejar bola dan pukulannya jauh lebih terarah. Benar saja, tiga point langsung ia peroleh secara berurutan. Kedudukan nilai menjadi 10-9.
Aku harus lebih waspada.
Pada akhirnya, setelah melewati reli-reli panjang, aku dapat mengalahkannya. Kedudukan menjadi imbang, 1-1. Tanpa istirahat kami bertarung kembali pada set ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Tapi pada suatu set, ada peristiwa yang terjadi pada pertarungan kami. Pada saat aku mengembalikan kok dengan susah payah karena lelah, kok itu melayang ke wilayah strategis serang Randu. Dengan sekuat sisa-sisa tenaganya, Randu melompat dan menyabetkan raketnya pada kok itu. Kok melayang ke arahku dengan kecepatan yang luar biasa. Belum sempat tersadar dan menyeimbangkan badan, kepala kok itu dengan keras menghantam bola mata kananku.
“Pluks!”
“Akh!” Aku berteriak kesakitan dan, kemudian terjatuh. Raket di tanganku terlempar entah ke mana. Pandanganku tiba-tiba gelap. Kesadaranku hilang.
Aku sadar dari pingsan panjangku ketika Randu menangis meminta maaf pada mamaku. Rupanya kami berada di rumah sakit. Aku terbaring di sana. Mamaku, papa, kak Jati dan Randu berdiri mengelilingiku. Dan secara perlahan aku menyadari apa yang sesungguhnya telah terjadi pada diriku. Sementara Randu masih saja meminta maaf pada mamaku. Sepertinya ia sangat menyesal.
“Sudahlah, kau tidak bersalah,” kata mamaku dengan tenang, “lihat, dia sudah sadar!” sambil memandangku yang telah membuka mata dengan disertai rasa pegal. Kelopak mataku bengkak dan hitam. Tapi kata dokter, mataku tidak apa-apa. Untunglah, pikirku. Aku pingsan ternyata karena terlalu lelah. Tenagaku habis terkuras waktu bertarung dengan Randu
Ah … Aku jadi penasaran. Apakah sekarang aku benar-benar sayur atau lemah seperti yang dikatakan oleh Randu? Ini tidak mungkin aku biarkan.
Dalam perjalanan pulang, aku duduk bersebelahan dengan Randu. Pada saat mobil membelok ke sebuah tikungan, kusikut dada Randu sambil berbisik pelan.
“Minggu depan kita bertarung lagi!”
Tapi dia tak menjawab. Kutoleh dia, dan ah, … , rupanya Randu tertidur dengan mulut setengah terbuka.***
Saya mempunyai saudara sepupu. Dia sepantaran denganku, tapi kami belajar di sekolah yang berbeda di kecamatan yang berjauhan. Walau tempat tinggal kami masih dalam satu kabupaten. Persaudaraan kami begitu dekat, kami pun seringkali saling berkunjung. Selain itu, dan ini yang penting, kami mempunyai hobi yang sama, badminton. Dan pada masalah hobi ini, walaupun kami sering melakukannya berbarengan, tapi pada sesungguhnya kami saling memendam persaingan, di hati kami masing-masing.
Sepupuku itu bernama Randu. Aku tidak tahu arti nama itu. Aku hanya tahu kalau kata Randu adalah nama sejenis pohon kapas. Oleh karenanya, sangat tidak mungkin kalau nama sepupuku itu berarti pohon kapas. Tapi bagaimana kalau itu benar? Tentu lucu sekali, khan?
Kata kakaknya, mas Jati, dia termasuk anak yang tidak disukai oleh teman-teman sekolahnya. Randu anak yang sombong. Tapi itu menurut mereka dan aku tidak percaya. Di mataku dia anak yang pemberani, tangkas, dan – ini yang membuatku iri – ia anak yang berprestasi. Berulang kali randu menjuarai lomba badminton tingkat kecamatan. Sekarang dia sedang mempersiapkan diri untuk berlaga di tingkat kabupaten.
Demikian juga dengan aku. Tahun ini aku akan mengikutilomba tersebut. Karena hal inilah, kami sepakat untuk bersaing. Tentu bersaing untuk merebut kemenaangan.
Bila kami berlatih badminton bersama, walau sebenarnya kami lebih dari sekedar itu. Karena sesunggunhya kami bukan berlatih, tapi BERTARUNG! Ya, ibarat dua pendekar silat yang baru turun gunung dan bertemu untuk mengadu kesaktian. Salah satu harus ada yang mengaku kalah. Jika belum, maka pertarungan akan terus berlanjut, sampai kedua pendekar tersebut kehabisan tenaga. Bukan bermaksud melebih-lebihkan, tapi begitulah adanya kami.
Pernah suatu haru Minggu aku datang ke rumahnya untuk mengajaknya bertarung. Dan kami langsung berangkat ke gedung olah raga kecamatan yang letaknya tak jauh dari rumah Randu. Tepat pukul sepuluh pagi kami mulai. Aku dengan raket terbaikku dan dia juga menggunakan raket terbaiknya.
Set pertama aku kalah. Skor 13-15. Dia mengejekku.
“Hah, … jadi sayur kau!” katanya. Aku diam saja karena aku tak tahu maksudnya. Mungkin ia hendak mengatakan aku lemah.
Set kedua mulai. Servis pertama darinya yang terlalu tinggi dan dekat dengan net langsung aku sambar. Bola bulu itu meluncur jatuh tepat di bawah kakinya.
“Wah smash-mu lumayan juga!” Dia mengakui.
“Itu belum seberapa, kau akan melihat smash-ku yang lebih tajam.” Aku menyombombongkan diri. sekedar untuk memulihkan mentalku untuk bertarung. Dan benar, semangatku kembali. Kini aku sudah jauh meningggalkanya. Nilaiku 10 sementara dia baru mendapat 6.
Tapi kini dia kelihatan lebih hati-hati. Gerakan mengejar bola dan pukulannya jauh lebih terarah. Benar saja, tiga point langsung ia peroleh secara berurutan. Kedudukan nilai menjadi 10-9.
Aku harus lebih waspada.
Pada akhirnya, setelah melewati reli-reli panjang, aku dapat mengalahkannya. Kedudukan menjadi imbang, 1-1. Tanpa istirahat kami bertarung kembali pada set ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Tapi pada suatu set, ada peristiwa yang terjadi pada pertarungan kami. Pada saat aku mengembalikan kok dengan susah payah karena lelah, kok itu melayang ke wilayah strategis serang Randu. Dengan sekuat sisa-sisa tenaganya, Randu melompat dan menyabetkan raketnya pada kok itu. Kok melayang ke arahku dengan kecepatan yang luar biasa. Belum sempat tersadar dan menyeimbangkan badan, kepala kok itu dengan keras menghantam bola mata kananku.
“Pluks!”
“Akh!” Aku berteriak kesakitan dan, kemudian terjatuh. Raket di tanganku terlempar entah ke mana. Pandanganku tiba-tiba gelap. Kesadaranku hilang.
Aku sadar dari pingsan panjangku ketika Randu menangis meminta maaf pada mamaku. Rupanya kami berada di rumah sakit. Aku terbaring di sana. Mamaku, papa, kak Jati dan Randu berdiri mengelilingiku. Dan secara perlahan aku menyadari apa yang sesungguhnya telah terjadi pada diriku. Sementara Randu masih saja meminta maaf pada mamaku. Sepertinya ia sangat menyesal.
“Sudahlah, kau tidak bersalah,” kata mamaku dengan tenang, “lihat, dia sudah sadar!” sambil memandangku yang telah membuka mata dengan disertai rasa pegal. Kelopak mataku bengkak dan hitam. Tapi kata dokter, mataku tidak apa-apa. Untunglah, pikirku. Aku pingsan ternyata karena terlalu lelah. Tenagaku habis terkuras waktu bertarung dengan Randu
Ah … Aku jadi penasaran. Apakah sekarang aku benar-benar sayur atau lemah seperti yang dikatakan oleh Randu? Ini tidak mungkin aku biarkan.
Dalam perjalanan pulang, aku duduk bersebelahan dengan Randu. Pada saat mobil membelok ke sebuah tikungan, kusikut dada Randu sambil berbisik pelan.
“Minggu depan kita bertarung lagi!”
Tapi dia tak menjawab. Kutoleh dia, dan ah, … , rupanya Randu tertidur dengan mulut setengah terbuka.***