Thursday, February 02, 2006
posted by catur catriks at 3:26 PM | Permalink
puisi satoe
Aku ingin menggembala kerbau
Di sawah sebelum tanam selepas panen
Aku punya empat ekor
Seekor yang besar kuberi nama santi
Seekor yang lain yang bulunya lebih hitam,
Biasa kupanggil si manis
Ia beranak satu
Yang seekor tanpa nama, hanya ia bertanduk lebih panjang
Kugembalakan mereka dengan cambuk penjalin buatan ayah
Gundulku tertutup caping
Kakiku bertelanjang menancap lumpur
Sela-sela jariku mengembang
Jarak antar jemari semakin berjauhan
Aku ingin menggembala kerbau
Ke sawah silamat, ke pelataran semampir, di atas tanggul proyek, ke
Mana pun
Ke tempat yang belum aku kenal
Bila kakiku kaku dan napasku memburu
Aku akan naik ke punggung santi
Kukeluarkan seruling yang tersembunyi
Di balik baju
Pada angin yang mengalun kutiup selongsong itu
Tapi, ah … nampaknya telingaku buta nada
Kulihat sore di barat
Nampaknya kuning, bisikku
Tapi teman kecilku mengatakan itu jingga
Aku teringat kata ibu, ayah menurunkan anak yang buta warna
Di sawah sebelum tanam selepas panen
Aku punya empat ekor
Seekor yang besar kuberi nama santi
Seekor yang lain yang bulunya lebih hitam,
Biasa kupanggil si manis
Ia beranak satu
Yang seekor tanpa nama, hanya ia bertanduk lebih panjang
Kugembalakan mereka dengan cambuk penjalin buatan ayah
Gundulku tertutup caping
Kakiku bertelanjang menancap lumpur
Sela-sela jariku mengembang
Jarak antar jemari semakin berjauhan
Aku ingin menggembala kerbau
Ke sawah silamat, ke pelataran semampir, di atas tanggul proyek, ke
Mana pun
Ke tempat yang belum aku kenal
Bila kakiku kaku dan napasku memburu
Aku akan naik ke punggung santi
Kukeluarkan seruling yang tersembunyi
Di balik baju
Pada angin yang mengalun kutiup selongsong itu
Tapi, ah … nampaknya telingaku buta nada
Kulihat sore di barat
Nampaknya kuning, bisikku
Tapi teman kecilku mengatakan itu jingga
Aku teringat kata ibu, ayah menurunkan anak yang buta warna
Pada saat lahir, ada lolong anjing
Walau suaranya masih kalah dengan gema adzan maghrib
Kata ibu, aku lahir tanpa mau menangis
Akhirnya cukup ibu yang menangis
Bukan karena sakit
Juga bukan karena bangga
Hanya kekhawatiran,
anaknya akan tumbuh dengan mulut yang terkunci
Ya, mungkin itu memang jingga
Mengalahku mengakhiri pertikaian kami tentang warna
Mungkin di antara kami tidak ada yang benar
Aku ingin menggembala kerbau
Dengan si jono, dengan si samin yang tak pernah sekolah
Admin yang tak punya ayah
Dan ki parnudi yang langkahnya tak lagi lurus
Bila kami lapar
Jono mencari busil untuk di bakar pada
Kering jerami
Sekamnya akan membuat daging ubi menjadi empuk
Dengan tersenyum, ah … tidak, tapi dengan tertawa
Kami berebut lewat tangan-tangan yang kotor
Tanpa sadar, sukarela kami saling pamer
Gigi-gigi kuning dan kulit wajah yang hitam
Banyak abu melekat di daging ubi yang ikut kami telan
Aku ingin menggembala kerbau
Seperti nartam atau narkam yang kelingking
Kaki kanannya putus terinjak kuku gembalanya
tapi tetap ia giring kerbau itu
Pulang
Dengan mata basah dan darah yang mulai mengental
Ya, mungkin itu memang jingga
Mengalahku mengakhiri pertikaian kami tentang warna
Mungkin di antara kami tidak ada yang benar
Aku ingin menggembala kerbau
Dengan si jono, dengan si samin yang tak pernah sekolah
Admin yang tak punya ayah
Dan ki parnudi yang langkahnya tak lagi lurus
Bila kami lapar
Jono mencari busil untuk di bakar pada
Kering jerami
Sekamnya akan membuat daging ubi menjadi empuk
Dengan tersenyum, ah … tidak, tapi dengan tertawa
Kami berebut lewat tangan-tangan yang kotor
Tanpa sadar, sukarela kami saling pamer
Gigi-gigi kuning dan kulit wajah yang hitam
Banyak abu melekat di daging ubi yang ikut kami telan
Aku ingin menggembala kerbau
Seperti nartam atau narkam yang kelingking
Kaki kanannya putus terinjak kuku gembalanya
tapi tetap ia giring kerbau itu
Pulang
Dengan mata basah dan darah yang mulai mengental
****
Aku ingin …
Hidup mengikut kodrat
Menerima dengan cara sederhana
Sepi pamrih dan polos
Tentu, setelah berkeringat
Aku ingin …
Mensyukuri
Mensyukuri
Bersyukur kepada Alloh